Sumarorong,  adalah nama kampung dan sungai yang ada di Kabupaten Mamasa, Propinsi  Sulawesi Barat . Arti nama Sumarorong berasal dari lima alasan yang ada  di dalam dua cerita rakyat Sulawesi Barat penamaan Sumarorong. Yaitu dari dua kata suma dan rorong. Suma dari kata sumarro. Rorong dari kata makarorrong. Sumarro ‘mengeluh’, ‘meratap’ atau ‘menangis’. Makarorrong, ‘mengenang’ atau ‘merindu’. Mengapa ‘menangis-merindu’ ?
Cerita yang pertama :
Di  zaman dahulu, berangkatlah Parinding Bassi bersama para pengawalnya  dari Kampung Peonan (masuk dalam Kec.Pana sekarang, Kab.Mamasa) menuju  daerah Nosu. Di daerah yang sekarang bernama Sumarorong, dipilih  bertempat tinggal di salah satu bukit dari tiga bukit yang saling  bersambungan yaitu Bukit Tondok Tallu. Tempat tinggi dipilih untuk  memudahkan pengamatan terhadap binatang buruan. Suatu hari Parinding  Bassi bersama pengawalnya pergi berburu. Mereka tiba di muara ketiga  sungai yaitu Sungai Baneaq, sungai yang kini bernama Sungai Sumarorong  dan Sungai Mamasa, tak jauh dari kediaman mereka. Dari muara sungai  muncul seorang wanita cantik berpakaian rumput air namanya Datu Lumuran (lumuran ‘berlumut’). Wanita itu dibawa pulang lalu dikawini oleh Parinding Bassi. 
Penduduk setempat menganggap keramat muara sungai tempat munculnya Datu Lumuran. Yang menganut kepercayaan Adaq Mappurondo/Aluq Todolo  di wilayah itu masih mengantar sesajian untuk menyembah Dewata ke  muara. Kehidupan Parinding Bassi-Datu Lumuran penuh kebahagiaan. Mereka  menjadi kaya raya. Suatu hari dilaksanakan maqbua, pesta  besar-besaran menyukuri kekayaan yang mereka peroleh. Parinding Bassi  mengundang semua orang dan para Tetua Hadat di sekitarnya. Mongle  bergelar Toditudangngi saudara perempuan Parinding Bassi, bersama  seorang cucunya disertai para pengawalnya. Menandakan keluarga Parinding  Bassi kaum bangsawan. Sehabis pesta para undangan masing-masing  mendapat cindera mata berupa emas dan parang panjang. Ketika Parinding  Bassi akan menyerahkan cindera mata kepada Toditudangngi, ditolak karena  menurut keluarganya, benda-benda seperti itu cukup banyak dimilikinya.  Tetapi ada permintaan si cucu yang menyertai Toditudangngi, yaitu seekor  anoa yang baru saja ditangkap oleh Parinding Bassi dalam perburuan.  Sebenarnya, Parinding Bassi berat hati memberikan anoa itu kepada  cucunya karena masih liar. Lagi pula anoa hanya untuk dipotong dan  dimakan dagingnya saja. Si Cucu berkeras untuk mendapatkannya.  Permintaan cucunya dipenuhi untuk dibawa pulang. Dipasangnya bamboo pada  kedua tanduk anoa supaya ia tidak bisa menanduk. 
Parinding  Bassi berpesan. Jangan sekali-kali membuka bamboo sebelum anoa jinak  betul. Mereka kembali pulang ke kampung mereka. Di tengah perjalanan  rombongan berhenti  beristirahat.  Tanpa diketahui siapa pun Si Cucu diam-diam melepaskan bambu pada  tanduk anoa. Tiba-tiba anoa melompat dan menanduknya. Si Cucu meninggal  di tempat itu juga. Tempat itu diberi nama Pendarangan.  Dengan duka cita yang dalam mereka mengusung jenazah sang cucu  meneruskan perjalanan sang cucu meneruskan perjalanan pulang. Setibanya  di kampung, keluarga mereka sangat marah. Mereka mendatangi Tondok Tallu  untuk menyerang perkampungan Parinding Bassi. Tapi mereka juga tidak  yakin dengan kekuatan persenjataan yang dimiliki dapat menghancurkan  Parrinding Bassi dengan para pengawalnya dan penduduk yang telah menjadi  pengikutnya. Diputuskan meracuni sumber mata air Tondok Tallu.
beristirahat.  Tanpa diketahui siapa pun Si Cucu diam-diam melepaskan bambu pada  tanduk anoa. Tiba-tiba anoa melompat dan menanduknya. Si Cucu meninggal  di tempat itu juga. Tempat itu diberi nama Pendarangan.  Dengan duka cita yang dalam mereka mengusung jenazah sang cucu  meneruskan perjalanan sang cucu meneruskan perjalanan pulang. Setibanya  di kampung, keluarga mereka sangat marah. Mereka mendatangi Tondok Tallu  untuk menyerang perkampungan Parinding Bassi. Tapi mereka juga tidak  yakin dengan kekuatan persenjataan yang dimiliki dapat menghancurkan  Parrinding Bassi dengan para pengawalnya dan penduduk yang telah menjadi  pengikutnya. Diputuskan meracuni sumber mata air Tondok Tallu. 
 beristirahat.  Tanpa diketahui siapa pun Si Cucu diam-diam melepaskan bambu pada  tanduk anoa. Tiba-tiba anoa melompat dan menanduknya. Si Cucu meninggal  di tempat itu juga. Tempat itu diberi nama Pendarangan.  Dengan duka cita yang dalam mereka mengusung jenazah sang cucu  meneruskan perjalanan sang cucu meneruskan perjalanan pulang. Setibanya  di kampung, keluarga mereka sangat marah. Mereka mendatangi Tondok Tallu  untuk menyerang perkampungan Parinding Bassi. Tapi mereka juga tidak  yakin dengan kekuatan persenjataan yang dimiliki dapat menghancurkan  Parrinding Bassi dengan para pengawalnya dan penduduk yang telah menjadi  pengikutnya. Diputuskan meracuni sumber mata air Tondok Tallu.
beristirahat.  Tanpa diketahui siapa pun Si Cucu diam-diam melepaskan bambu pada  tanduk anoa. Tiba-tiba anoa melompat dan menanduknya. Si Cucu meninggal  di tempat itu juga. Tempat itu diberi nama Pendarangan.  Dengan duka cita yang dalam mereka mengusung jenazah sang cucu  meneruskan perjalanan sang cucu meneruskan perjalanan pulang. Setibanya  di kampung, keluarga mereka sangat marah. Mereka mendatangi Tondok Tallu  untuk menyerang perkampungan Parinding Bassi. Tapi mereka juga tidak  yakin dengan kekuatan persenjataan yang dimiliki dapat menghancurkan  Parrinding Bassi dengan para pengawalnya dan penduduk yang telah menjadi  pengikutnya. Diputuskan meracuni sumber mata air Tondok Tallu. Kadokoq,  racun yang sangat keras dimasukkan ke dalam sumber mata air Tondok  Tallu. Musnahlah penduduk Tondok Tallu setelah meminum air beracun kadokok.  Hanya Parrinding Bassi, isterinya, dan seorang seorang puteranya Pasok  Gallang yang masih kecil, selamat hidup. Parrinding Bassi tidak lagi  betah tinggal di Tondok Tallu. Tapi isterinya Datu Lumuran yang lagi  hamil tidak mau meniggalkan daerah asalnya. Karena masing-masing keras  pendirian keduanya beerpisah, walapupun masih tetap saling menyita.  Parinding Bassi bersama puteranya pergi, meninggalkan Datu Lumuran.  Perpisahan yang penuh penderitaan hati dan kesedihan yang dalam.  Keduanya berangkat menuju arah barat menyeberangi Sungai Mamasa, tiba di  suatu daerah yang oleh Parinding Bassi diberinya nama Matangnga. Datu  Lumuran yang sedang hamil meninggalkan Tondok Tallu menuju muara  tempatya ditemukan Parinding Bassi dahulu. Di Matangnga, Parinding Bassi  kawin dengan Marimbung anak Simbaq Datu dari Tabulahan. Lahir dua orang  anak yaitu Manaq Lolo dan Tabudang Ulu. Anak Manaq Lolo yaitu Tambura  Langi beranak pinak turun temurun di Matangnga sampai sekarang. Waktu  berlalu terus, Pasok Gallang putera Parinding Bassi yang sudah dewasa  gemar sekali mencari dan menangkap masapi  ‘belut’.
Pada  suatu hari menyusuri sungai, lalu pindah ke sungai lainnya. Dalam  keasyikan mencari dan menangkap belut ia tiba di sungai yang tidak jauh  dari Tondok Tallu. Akhirnya tiba di Kampung Minanga (sekarang) tak jauh  dari tempat pertemuan orang tuanya (Parinding Bassi – Datu Lamuran)  pertama kali. Dilihatnya seorang wanita yang sangat cantik, Rangga  Bittoen namanya, puteri Datu Lumuran yang dikandungnya dahulu pada waktu  berpisah dengan suaminya Parinding Bassi. Keduanya saling tidak  mengetahui mereka bersaudara kandung. Pasok Gallang melamar dan  mengawini Rarngga Bittoen. Pada malam pertama perkawinan mereka, sedang  asyik bercumbu, tiba-tiba gerhana bulan terjadi. Begitu gerhana bulan  selesai berlangsung, keduanya menjadi batu. Sampai tahun 1993 batu yang  dipercayai sebagai penjelmaan Pasok Gallang-Rangga Bittoen masih ada.  Namanya Kalewe, oleh penganut kepercayaan Adaq Mappurondo/Alaq Todolo,Kelewe  dijadikan salah satu tempat pemujaan di daerah itu. Orang-orang  diketahui bahwa kedua orang yang telah menjadi batu tersebut sebearnya  bersaudara. Orang-orang pun bersedih meratap mengenang peristiwa Kalewe  yang menyedihkan. 
Tiga  peristiwa menyedihkan terjadinya dalam cerita di atas yaitu : musnahnya  penduduk Tondok Tallu, perpisahan Parinding Bassi dengan isterinya Datu  Lumuran, dan Pasok Gallang-Rangga Bittoen menjadi batu.  Peristiwa-peristiwa yang menyedihkan itu menimbulkan ratap tangis  apabila dikenang dirindukan. Maka konon, timbullah istilah sumarro anna makarorrong  (mengeluh-meratap-menangis dan mengenang –merindu). Lama kelamaan  tempat terjadinya peristiwa-peristiwa menyedihkan itu disebut  Sumarorong.
Cerita yang kedua : 
Peristiwa Kalewe lama berlalu, suatu hari datang pula satu keluarga baru yang  berasal  dari Peonan (dalam wilayah Kec.Pana, Kab. Mamasa sekarang). Keluarga  Sadaq-Beqlang ini bersama para pengawalnya mendirikan perkampungan di  dekat muara ketiga sungai yaitu Sungai Baneaq, sungai yang sekarang  disebut Sungai Sumarorong, dan Sungai Mamasas. Kampung mereka diberi  nama Betteng. Terletak di kaki bukit. Mereka hidup  bertani. Seekor kerbau putih yang mereka dapatkan tiba-tiba hamil,  kerbau putih itu dikawini oleh seekor kerbau jantan gaib yang muncul  dari muara sungai tempat Datu Lumuran dahulu ditemukan. Kerbau mereka  berkembang biak menjadi banyak sekali. Begitu pula tanah-tanah pertanian  mereka semakin luas. Kekayaan itu menjadikan mereka sombong, mereka  memamerkan kekayaan dengan cara yang berlebih-lebihan. Untuk  memperlihatkan bahwa mereka mempunyai kerbau yang banyak sekali, semua  kerbau betina yang baru saja beranak dikumpulkan lalu diperah susunya.  Susu kerbau ditumpahkan ke sungai di dekat perkampungan mereka. 
 
 
 Beberapa  saat lamanya, begitu banyaknya susu yang ditumpahkan sehingga sungai  berubah menjadi sungai susu. Untuk memperlihatkan bahwa hasil sawah  mereka melimpah ruah, maka nasi pulut dibuat menjadi pelempar burung  pipit dan dilemparkan kepada orang-orang yang lagi lewat di perkampungan  mereka. Mereka juga membagi-bagikan penai ‘parang  panjang’ kepada para pemuka masyarakat dan tokoh-tokoh adat yang berdiam  di sekitar perkampungan mereka. Perbuatan sombong itu tidak disenangi  oleh Ketua Adat. Ketua Adat mengatakan, perbuatan itu akan mendatangkan  kutuk tanah, kepada mereka turun temurun. Tanaman tidak akan tumbuh  dengn baik karena Dewata Sang Pencipta Alam akan marah. Betul apa yang  dikatakan oleh Ketua Adat. Tanam-tanaman tidak ada yang menjadi. Mereka  jatuh miskin dan hidup sangat menderita. Merasakan semua itu mereka  meratap dan menangis karena mengenang masa makmur dahulu.beberapa tahun  kemudian setelah Tomakaka pemimpin mereka meniggal dunia, turunnya ada yang berpindah tempat ke Lawean di sebelah timur Tondoko Tallu. 
Di  tempat baru itu mereka menemukan seorang menusia kerdil persis anak  kecil yang belum tumbuh gigi. Manusia kerdil itu mereka sayangi.  Dibuatkan sebuah buaian. Setiap hari, sebelum mereka pergi ke lahan  pertanian atau masuk hutan mencari rotan, dan melaksanakan berbagai  kegiatan anak kecil itu dimasukkan ke dalam buain. Anehnya, setelah  mereka kembali ke rumah, semua makanan dalam rumah habis. Demikian  terjadi setiap hari. Suatu hari, mereka berpura-purapergi meninggalkan  rumah seperti biasa. Pada hal mereka tidak pergi. Dengan diam-diam  mereka mengintip kedalam rumah. Apa yang terjadi ?, anak kecil itu turun  dari buaian dan menghabiskan semua makanan yang ada di dalam rumah.  Mereka sadar anak kecil itu ternyata tau lapping ‘orang kerdil liar’. Orang kerdil itu dipukuli. Tiba-tiba bermunculan banyak sekali orang kerdil menyerang mereka. 
Orang-orang  kerdil itu marah karena ada warganya yang disiksa oleh mereka. Tidak  jauh dari tempat kejadian, ada seseorang wanita yang sedang mandi sambil  mengeramas rambutnya dengan limau. Dari dalam air terdengar suara jelas  berkata Inde dio to mendiq to melangiq lemo gamba, taeq raka mukareba, taeq raka muissan ladilimbui adeq Betteng la ditaloi adeqna. (Wahai orang yang sedang mandi dan berkeramas dengan limau gamba, tidakkah kamu mendengar berita, tidakkah kamu mengetahui Betteng  akan diserang dan akan dikalahkan). Berita segera disampaikan kepada  penduduk tidak lama kemudian pertempuran hebat terjadi antara Tau Lappun dengan penduduk di Lawean dan Betteng. 
Pertempuran di darat dan di sungai selalu dimenangi oleh Tau Lappun. Penduduk di Betteng dan sekitarnya hamper punah sama sekali. Orang-orang tersisa pergi mencari jejak Tau lappun.  Mereka menemukan satu gua besar di Buttu Tonggo yaitu hutan di sebelah  utara. Mereka mengumulkan ijuk, alang-alang dan Lombok, disumbatkan ke  mulut gua, lalu dibakar. Maka musnahlah orang-orang kerdil yang ada di  dalam gua. Tidak lama kemudian, muncul seorang kerdil yang hamil yang  belum masuk ke dalam gua. Tidak lama kemudian, muncul seorang kerdil  yang hamil yang belum masuk ke dalam gua. Melihat keadaan itu, ia  berlari masuk ke hutan kembali. (rupanya, dialah yang berkembang biak  lagi sampai sekarang. Orang-orang kerdil, konon, masih sering terlihat  oleh para pemburu, peramu rotan dan damar di wilayah tersebut). Setelah  peristiwa, penduduk yang tersisa meniggakan kampung Betteng pergi  mencari tempat yang aman. Kampung menjadi sunyi senyap sama dengan  Tondok Tallu dahulu. Merataplah penduduk Betteng yg pergi itu. Mereka  meratap mengenang kampung Betteng yang tiba-tiba musnah. 
Konon,  dua peristiwa menyedihkan di atas (tanamn tidak menjadi, rakyat  menderita karena kutukan dewata akibat kesombongan Sadaq-Beqleng dan  para pengikutnya, dan peristiwa musnahnya sebagian besar penduduk  kampung Betteng akibat serangan orang-orang kerdil) yang menimbulkan  duka cita yang dalam, orang-orang meratap (sumarro) mengenang merindukan (makarorrong) masa lalu kampung halaman dan masyarakatnya. Demikianlah asal muasal penamaan kampung/daerah Sumarorong.
 

 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar