Minggu, 20 November 2011

LOPI SANDEQ

> Kawasan pesisir Sulawesi Barat dikenal sebagai tempat bermukimnya suku Mandar – salah satu suku laut di pulau Sulawesi. Dalam dunia antropologi, nama suku Mandar senantiasa disejajarkan dengan suku Bugis, suku Makassar, atau suku Bajo. Salah satu perbedaan suku Mandar dibandingkan suku-suku laut lainnya di pulau Sulawesi, mereka dikenal sebagai possasiq atau pelaut-pelaut yang tangguh.
> Sebenarnya, mereka bukan hanya dikenal sebagai pelaut yang sanggup mengarungi lautan berapa pun jauhnya. Tapi, mereka pun handal dalam mengumpulkan ikan di laut-laut dalam. Mereka memang menggantungkan nafkah sehari-harinya pada laut. Sehingga, perahu dan laut pun menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan mereka.
> Nama suku Mandar kerap dikaitkan dengan salah satu jenis perahu kreasi mereka, perahu sandeq. Yakni, perahu tradisional dengan layar lebar, cadik, katir panjang, serta bentuk haluan dan buritan yang pipih-runcing. Karena bentuk buritan yang pipih-runcing itu, maka disebut sandeq yang berarti “runcing”. Dan, bagi warga suku Mandar, perahu sandeq bukan sekedar kendaraan untuk mencari nafkah, tapi juga memberikan status sosial tinggi bagi pemiliknya.
> Perahu sandeq dibuat dengan mengacu pada struktur manusia, dengan tulang rangka dan anggota-anggota tubuh lainnya. Pusat “kehidupan” perahu sandeq adalah pada possi atau pusat di bagian bawah tengah lambung. Saat perahu tersebut dibuat atau tengah menjalani prosesi ritual, possi mendapat perhatian tersendiri dari pemimpin ritual (sanro)
> Cerita menarik yang dapat digali dari perahu sandeq adalah kekerabatan yang kental antara perahu sandeq dan awaknya (passandeq). Ibarat kuda dan jokinya. Perahu sandeq yang kokoh, cantik, dan mampu melaju cepat di atas samudera (lopi sandeq nan malolo), harus dikendalikan oleh passandeq-passandeq yang tangguh. Mereka terdiri atas punggawa dan sawi – dalam konteks suku Bugis atau suku Makassar, sawi disebut sahi.
> Punggawa merupakan kapten dan juru mudi, sedangkan sawi menjadi pengatur arah layar dan keseimbangan perahu. Di atas perahu sandeq, punggawa dan sawi merupakan kelompok kerja yang kompak. Pada hakekatnya, punggawa adalah pemimpin atas para sawi. Karena itu, ia bukan orang sembarang di dalam timnya.
· http://panyingkul.com/gambar/1september2007
> Seseorang dijadikan punggawa, karena ia dianggap mumpuni dalam hal; keterampilan melaut (paqissangang aposasiang), pengetahuan berlayar (paqissangan sumobal), pengetahuan keperahuan (paqissangang paqlopiang), dan kemampuan supranatural (paqissangan). Punggawa bukanlah orang yang dipilih karena kedekatannya dengan pemilik perahu atau kepala desa. Tapi, ia memang memiliki bekal keterampilan yang lebih dibandingkan para sawinya.
> Umumnya para punggawa adalah orang-orang yang sudah berumur. Warga suku Mandar memang tidak pernah bermain-main dalam urusan penetapan punggawa. Karena, ia bukan hanya akan bertanggungjawab atas laju perahu di atas air. Tapi, juga menyangkut keselamatan seluruh awaknya dan pendapatan melautnya.
> Di atas perahu sandeq, ia benar-benar menjadi tokoh kharismatik bagi para sawi. Komando-komando sang punggawa menjadi peraturan mutlak bagi para sawi. Karena itu, punggawa yang pendiam sekali pun akan berubah total saat ia memimpin di atas perahu sandeq. Tiba-tiba, ia bisa berwatak keras dan garang saat mendapati sawinya tidak patuh atau lamban menerima instruksinya. Tapi, ia juga bisa menjadi lembut dan santun tatkala para sawi telah melaksanakan tugasnya dengan sempurna.
> Dalam kenyataan, belum pernah ditemukan dalam sejarah atau antropologi suku Mandar, kisah sawi yang membelot atau melawan punggawanya. Karena kharismatik dan wibawa sang punggawa, para sawi ikhlas menyerahkan pikiran, tenaga, bahkan jiwanya. Sebaliknya, belum pernah juga ditemukan, cerita punggawa yang mamarahi atau memaki sawinya secara membabi-buta. Di atas perhau sandeq, mereka memang tim yang padu dan tidak pernah berbenturan emosi.
> Seorang punggawa dipilih karena ia memiliki modal terbesar dalam kepemimpinannya, yakni personal power (kharisma). Modal itu didapat bukan dari sekolah atau perguruan tinggi. Tapi, titisan bakat, pengalaman berguru pada orang-orang pintar, dekat dengan Yang Mahapencipta, dan keterampilan teknis yang terus diasah, menjadi peluru-peluru berharga, untuk melengkapi personal power.
· http://farm1.static.flickr.com/67/225742096_9dfd20a362_m.jpghttp://asianyachting.com/images/SandeqDrawing.gif
> Dan seperti juga masyarakat adat di daerah lain, variabel personal power menjadi syarat utama dibandingkan syarat-syarat lain. Terlebih lagi, faktor “x”. Mereka tidak mengenal istilah KKN. Mereka tidak mengenal siasat “kedekatan”. Bahkan, pemunculan aura “kharisma” pun tidak dengan unsur kesengajaan. Tapi, hal itu dibentuk proses panjang dan proses pembelajaran jiwa yang dalam (lelaku).
> Ia merupakan cerminan pemimpin yang senantiasa berserah diri kepada Yang Mahasuci. Karena itu, ia bukan hanya sosok yang telah melewati tahap-tahap pembentukan pribadi nan bersabar, bersyukur, bertawakal, dan berzuhud. Tapi, ia memang sudah istiqomah untuk menjalaninya dengan ketekunan. Di luar mencari nafkah di atas perahu sandeq atau perahu nelayan lainnya, ia lebih banyak memncurahkan waktunya hanya untuk Tuhan.
> Kesimpulannya, punggawa adalah gambaran pemimpin yang menyejukkan hati para sawi. Ia adalah tokoh panutan, sandaran, dan juga masa depan. Pola kepemimpinannya yang terbilang tradisional justru menghadirkan inspirasi mendalam di kancah kepemimpinan modern. Adakah sosok kharismatik yang bisa kita dapatkan di lingkungan kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar