>        Kawasan pesisir Sulawesi Barat dikenal sebagai tempat bermukimnya suku Mandar – salah satu suku laut di pulau Sulawesi. Dalam dunia antropologi, nama suku Mandar senantiasa disejajarkan dengan suku Bugis, suku Makassar, atau suku Bajo. Salah satu perbedaan suku Mandar dibandingkan suku-suku laut lainnya di pulau Sulawesi, mereka dikenal sebagai possasiq atau pelaut-pelaut yang tangguh.
>        Sebenarnya,  mereka bukan hanya dikenal sebagai pelaut yang sanggup mengarungi  lautan berapa pun jauhnya. Tapi, mereka pun handal dalam mengumpulkan  ikan di laut-laut dalam. Mereka memang menggantungkan nafkah  sehari-harinya pada laut. Sehingga, perahu dan laut pun menjadi bagian  yang tidak terpisahkan dalam kehidupan mereka.
>         Nama suku Mandar kerap dikaitkan dengan salah satu jenis perahu kreasi mereka, perahu sandeq.  Yakni, perahu tradisional dengan layar lebar, cadik, katir panjang,  serta bentuk haluan dan buritan yang pipih-runcing. Karena bentuk  buritan yang pipih-runcing itu, maka disebut sandeq yang berarti “runcing”. Dan, bagi warga suku Mandar, perahu sandeq bukan sekedar kendaraan untuk mencari nafkah, tapi juga memberikan status sosial tinggi bagi pemiliknya.
>         Perahu sandeq dibuat dengan mengacu pada struktur manusia, dengan tulang rangka dan anggota-anggota tubuh lainnya. Pusat “kehidupan” perahu sandeq  adalah pada possi atau pusat di bagian bawah tengah lambung. Saat  perahu tersebut dibuat atau tengah menjalani prosesi ritual, possi  mendapat perhatian tersendiri dari pemimpin ritual (sanro)
>         Cerita menarik yang dapat digali dari perahu sandeq adalah kekerabatan yang kental antara perahu sandeq dan awaknya (passandeq). Ibarat kuda dan jokinya. Perahu sandeq yang kokoh, cantik, dan mampu melaju cepat di atas samudera (lopi sandeq  nan malolo), harus dikendalikan oleh passandeq-passandeq yang tangguh.  Mereka terdiri atas punggawa dan sawi – dalam konteks suku Bugis atau  suku Makassar, sawi disebut sahi.
>         Punggawa merupakan kapten dan juru mudi, sedangkan sawi menjadi pengatur arah layar dan keseimbangan perahu. Di atas perahu sandeq,  punggawa dan sawi merupakan kelompok kerja yang kompak. Pada  hakekatnya, punggawa adalah pemimpin atas para sawi. Karena itu, ia  bukan orang sembarang di dalam timnya.
·         
>         Seseorang  dijadikan punggawa, karena ia dianggap mumpuni dalam hal; keterampilan  melaut (paqissangang aposasiang), pengetahuan berlayar (paqissangan  sumobal), pengetahuan keperahuan (paqissangang paqlopiang), dan  kemampuan supranatural (paqissangan). Punggawa bukanlah orang yang  dipilih karena kedekatannya dengan pemilik perahu atau kepala desa.  Tapi, ia memang memiliki bekal keterampilan yang lebih dibandingkan para  sawinya.
>         Umumnya para punggawa adalah orang-orang yang sudah berumur. Warga suku Mandar  memang tidak pernah bermain-main dalam urusan penetapan punggawa.  Karena, ia bukan hanya akan bertanggungjawab atas laju perahu di atas  air. Tapi, juga menyangkut keselamatan seluruh awaknya dan pendapatan  melautnya.
>         Di atas perahu sandeq,  ia benar-benar menjadi tokoh kharismatik bagi para sawi.  Komando-komando sang punggawa menjadi peraturan mutlak bagi para sawi.  Karena itu, punggawa yang pendiam sekali pun akan berubah total saat ia  memimpin di atas perahu sandeq. Tiba-tiba, ia bisa  berwatak keras dan garang saat mendapati sawinya tidak patuh atau lamban  menerima instruksinya. Tapi, ia juga bisa menjadi lembut dan santun  tatkala para sawi telah melaksanakan tugasnya dengan sempurna.
>         Dalam kenyataan, belum pernah ditemukan dalam sejarah atau antropologi suku Mandar,  kisah sawi yang membelot atau melawan punggawanya. Karena kharismatik  dan wibawa sang punggawa, para sawi ikhlas menyerahkan pikiran, tenaga,  bahkan jiwanya. Sebaliknya, belum pernah juga ditemukan, cerita punggawa  yang mamarahi atau memaki sawinya secara membabi-buta. Di atas perhau sandeq, mereka memang tim yang padu dan tidak pernah berbenturan emosi.
>         Seorang  punggawa dipilih karena ia memiliki modal terbesar dalam  kepemimpinannya, yakni personal power (kharisma). Modal itu didapat  bukan dari sekolah atau perguruan tinggi. Tapi, titisan bakat,  pengalaman berguru pada orang-orang pintar, dekat dengan Yang  Mahapencipta, dan keterampilan teknis yang terus diasah, menjadi  peluru-peluru berharga, untuk melengkapi personal power.
·         



>        Dan  seperti juga masyarakat adat di daerah lain, variabel personal power  menjadi syarat utama dibandingkan syarat-syarat lain. Terlebih lagi,  faktor “x”. Mereka tidak mengenal istilah KKN. Mereka tidak mengenal  siasat “kedekatan”. Bahkan, pemunculan aura “kharisma” pun tidak dengan  unsur kesengajaan. Tapi, hal itu dibentuk proses panjang dan proses  pembelajaran jiwa yang dalam (lelaku).
>         Ia  merupakan cerminan pemimpin yang senantiasa berserah diri kepada Yang  Mahasuci. Karena itu, ia bukan hanya sosok yang telah melewati  tahap-tahap pembentukan pribadi nan bersabar, bersyukur, bertawakal, dan  berzuhud. Tapi, ia memang sudah istiqomah untuk menjalaninya dengan  ketekunan. Di luar mencari nafkah di atas perahu sandeq atau perahu nelayan lainnya, ia lebih banyak memncurahkan waktunya hanya untuk Tuhan.
>         Kesimpulannya,  punggawa adalah gambaran pemimpin yang menyejukkan hati para sawi. Ia  adalah tokoh panutan, sandaran, dan juga masa depan. Pola  kepemimpinannya yang terbilang tradisional justru menghadirkan inspirasi  mendalam di kancah kepemimpinan modern. Adakah sosok kharismatik yang  bisa kita dapatkan di lingkungan kita?
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar