Minggu, 20 November 2011

Mandar dan Sejarahnya

SEJARAH di tanah MANDAR
Walaupun daerahku ini masih terpencil dan belum dikenal oleh seluruh pelosok negeri Indonesia, tetapi Mandar memiliki sejarah yang tak kala melegendanya dengan sejarah-sejarah negeri kita di daerah lain. Mandar juga memiliki beberapa persamaan karakteristik dengan saudaranya yaitu Bugis, tetapi tetap saja perbedaan diantara keduanya sangatlah jelas. Berikut saya akan memperkenalkan tanah yang kami cintai ini kepada Anak Bangsa Indonesia yang lain:
Asal usul nama Mandar,
Mandar adalah suatu daerah di Propinsi Sulawesi Barat, suku bangsa yang mayoritas mendiami daerah Sulawesi Barat, nama bahasa daerah, dan nama sebuah sungai di Kabupaten Polewali Mandar. Daerah Mandar meliputi lima kabupaten yaitu Kab.Polewali Mandar, Kab.Majene, Kab.Mamuju, Kab.Mamasa dan Kab.Mamuju Utara. Luasnya sekitar 1.105.761 km2. Beberapa pendapat tentang asal mula munculnya istilah Mandar sebagai berikut :
1. Dari Kata mandar yang berarti ‘sungai’. Penduduk di Kec.Tinambung, Kec.Limboro, dan Kec.Allu sepanjang Sungai Mandar(sekarang) apabila mau “turun” mandi di sungai mengatakan Na naungaq mandoeq di uai (Saya akan “turun”/pergi mandi di sungai),
2. Dari kata maqdara. Pendapat ini, didasarkan pada sifat orang Mandar yang salah sedikit saja mereka tidak segan-segan bertikam yang akibatnya bermandi darah. Orang yang member nama ini ialah orang yang berasal dari luar daerah Mandar,
3. Dari kata mandaraq yang berarti bersinar, bercahaya,
4. Dari kata mandaq yang artinya kuat,
5. Dari kata maqandar atau meander ‘mengantar’, boleh juga berarti ‘mengiring’. Pendapat ini berdasarkan cerita rakyat tentang suatu kejadian di suatu daerah Mandar (yang sebelum bernama Mandar) di zaman lampau. Dikisahkan, sebuah rakit yang berisi persumbahan kepada Dewata dari hulu sungai (yang sekarang bernama Sungai Mandar) menuju muara. Seluruh rakyat berbaris dipinggir sebelah menyebelah sungai untuk maqandar (mengantar) rakit itu sampai ke muara. Setiba di muara, manusia pengantar itu mettambung(bertumpuk) di sebelah menyebelah sungai menyebabkan tempat di muara sungai itu bernama Tambung yang kemudian menjadi sebuah kampung. Kira-kira berjarak setengah kilometer dari Tambung arah kehulu, ujung barisan pengantar berbalik berputar untuk kembali ke hulu sungai. Tempat berbalik/berputar kembali, itu pun bernama Paqgiling (dari kata giling atau putar) yang kemudian menjadi sebuah kampung.
6. Dari kata Dharaman (bahasa Hindu/Sansekerta). Terdiri dari dua akar kata, yaitu man+dhar berasal dari bentuk kata dharaman yang berarti ’mempunyai penduduk’. Akhirnya terjadi pertukaran dan perubahan pengucapan menjadi Mandar.
Mandar di masa penjajahan Belanda,
Belanda sangat mempengaruhi sejarah Indonesia pada zaman penjajahan karna Belanda-lah yang menjajah Indonesia paling lama yaitu sekitar 300 tahun, Belanda juga menindas rakyat Indonesia termasuk juga Mandar dengan kejam walaupun tidak sekejam Jepang. Berikut ini saya akan menggambarkan kronologi perlawanan-perlawanan rakyat Mandar terhadap penjajah Belanda :
Perlawanan dan protes keras H.Maata,
- Terjadi pada tahun 1932,
H.Maata, Kepala Desa Pambusuang kepada penjajah Belanda, atas perlakuan mempekerjakan langsung penduduk desanya membuat jalan di Kunyi, tanpa izinnya sebagai Kepala Desa. Perlawanan kecil, tetapi menunjukkan perlawanan menentang Belanda telah menjadi laten di Mandar setidaknya sejak Tokape Maraqdia Balanipa memulainya di abad ke-19. Baharuddin Lopa menggambarkannya seperti yang dituturkan oleh Hasan Latief, bekas Kepala Distrik Tenggelang, 13 juni 1981. Sampai dengan tahun 1932 perlawanan orang-orang Mandar terhadap penjajahan Belanda masih terjadi terus meskipun kecil-kecilan. H. Maata mendatangi kantor Controleur di Polewali menyatakan protes keras kepada pejabat pemerintah kolonial. Semestinya dia sendiri yang memerintahkan langsung kepada penduduknya. Akibat peristiwa itu beberapa tokoh penduduk Desa Pambusuang ditangkap oleh pemerintah kolonial. Semestinya dia sendiri yang memerintahkan langsung kepada penduduknya. Akibat peristiwa itu beberapa tokoh penduduk Desa Pambusuang ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda dengan tuduhan berkomplot dengan Kepala Desa H.Maata melakukan pembangkangan terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Peristiwa Bendera Merah Putih di Tinambung,
- Tanggal 15 Januari 1946,
Pada peristiwa Bendera Merah Putih ini, Ibu Andi Depu (pahlawan Mandar) memeluk tiang bendera Merah Putih, merupakan sepak terjang penentangan langsung Ibu Andi Depu terhadap tentara Belanda yang ingin menurunkan bendera Merah Putih yang sedang sedang berkibar di depan istana Kerajaan Balanipa (kerajaan terbesar di Sulawesi Barat pada saat itu) di Tinambung. Istana yang sekaligus dijadikan salah satu markas komando perjuangan rakyat Mandar mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia, dua hari sebelum Peristiwa Bendera Merah Putih di Tinambung,
- Tanggal 13 Januari 1946,
Aparat NICA telah mengibarkan bendera Belanda di dalam tangis KNIL di Majene. Dengan dukungan Sekutu, 1 Januari 1946 aparat Belanda menurunkan bendera Merah Putih di semua tempat dalam wilayah Majene. Sampai kemudian Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia.
Pertempuran Tonyaman dan rentetan peristiwa dan pertempuran berikutnya sampai bulan Desember 1946,
- Tanggal 16 Agustus 1946,
Yakni pertempuran antara para pemuda/pejuang di bawah pimpinan Pangiu dan Nyompa melawan pasukan KNIL/NICA di bawah komando Controleur Polewali G.J.Monsers di daerah Tonyaman Polewali. Pejuang bersenjatakan bambu runcing, keris, badik dan parang panjang melawan pasukan KNIL/NICA yang mempergunakan senjata api. Controleur Polewali G.J.Monsers dan beberapa pengawalnya terbunuh. Pejuang merampas satu pucuk pistol dan senjata Ouwengun.
- Tanggal 17 Agustus 1946,
Satu peleton tentara NICA/KNIL menangkapi semua laki-laki dewasa yang ada di Tonyaman. Disiksa habis-habisan.
- Tanggal 18 Agustus 1946,
Pasukan KNIL/NICA melancarkan serangan balasan terhadap markas pemuda/pejuang di Silopo. Pangiu dan kawan-kawan memberikan perlawanan mati-matian. Pabi, pemuda pejuang gugur. Padara, Sida, Mada, dan Pungga Sampe luka parah dan tertangkap. Markas pejuang dibakar habis oleh musuh.
- Pada awal September,
Di bawah pimpinan Ambo Damma, para pejuang menyerang markas musuh di Bungin, lima orang gugur yaitu Amba, Tanai, Billa, Badusama, dan Mangundang. Pertengahan September, pasukan Pangiu Komandan Kompi III melakukan penghadangan di Mirring Polewali. Penghadangan tidak berhasil. Granat yang dilemparkan jatuh di belakang mobil musuh. Beberapa orang rakyat yang kebetulan ada di sekitar daerah penghadangan ditangkap, disiksa dan dibunuh oleh pasukan musuh.
- Pada akhir bulan September,
Pangiu menyerang mata-mata musuh di Binuang yang dipimpin oleh Wa Saira. Wa Saira pun terbunuh juga. Awal Oktober para pejuang di bawah pimpinan Nyompa menyerang mata-mata musuh dan pos polisi NICA di Paku. Beberapa orang mata-mata musuh ditangkap dan dibunuh.
- Tanggal 7 Oktober 1946,
Terjadi pertempuran antara para pejuang yang dipimpin Masse dan Landi dengan serdadu KNIL di Kalosilosi. Empat orang pejuang gugur, yaitu dipimpin Masse, Tangnga, Reken, dan Kadongboli. Di pihak musuh empat orang mata-mata ditangkap, dibawa ke Riso,Tapango, diadili dan dibunuh.
- Tanggal 8 Oktober 1946,
Serdadu KNIL menyerangan markas pejuang di Tabone. Empat orang pejuang gugur yaitu Lattone, La Runa, Tola dan Tabara (seorang perempuan tukang masak). Beberapa orang terperangkap antara lain Onjang, Apo dan Tanah.
- Tanggal 10 Oktober 1946,
Para pejuang mengadakan pertemuan di Kelapadua. Merencanakan penyerangan umum terhadap musuh di kota Polewali pada tanggal 12 Oktober.
- Tanggal 12 Oktober 1946,
Dipimpin oleh Controleur Polewali Yonasse, serdadu KNIL mendadak menyerang markas pejuang Kompi II di Kelapadua. Dua puluh satu orang pejuang gugur dan beberapa orang ditangkap. Markas pejuang dibakar musuh.
- Tanggal 13 Oktober 1946,
Pasukan KNIL menangkap Badu di Kelapadua. Badu sama sekali tidak mau menyebutkan tempat persembunyian kawan-kawannya sesame pejuang. Badua ditembak mati.
- Tanggal 14 Oktober 1946,
Berdasarkan informasi dari seseorang pengkhinat, serdadu KNIL mengetahui lokasi dan menyerang markas pejuang di Gua Salu Bayo. Dalam pertempuran, Komandan Kompi II Tarrua gugur bersama kedua puteranya, Sampeani dan Lira. Pertengahan November, pemimpin tertinggi perjuangan wilayah Polewali Andi Hasan Mangga tertangkap.
- Tanggal 3 Desember 1946,
Di bawah pimpinan H. Umri dan Nyompa para pejuang melakukan penyusupan besar-besaran ke dalam Kota Polewali untuk melaksanakan penyerangan terhadap kantor Controleur/NICA, markas polisi NICA, dan penjara Polewali. Para pejuang juga melakukan aksi-aksi lainnya mengganggu musuh. Aparat KNIL dan polisi NICA menangkapi Andi Hasan Mangga, Alex Pattola, Pene Dg Pasanre, H.Ummarang, La Hamma, Pangiu, Tamalino, Nongngo, Salampang, Panikkai, Labulan, La Gante, Ati Dg Patoangin, Tonang, Manangi, Panjang, Pama, dan Kati. Sebagian besar ditembak mati dan yang lainnya dipenjarakan. Untuk mengenang, menghargai, menghormati jasa-jasa mereka dibangunlah Monumen Bambu Runcing/Tiga Pahlawan Pejuang Kemerdekaan, dan Monumen Perjuangan 45. Keduanya berada di kota Polewali, kab. Polman.
Peristiwa Tololoq dan Peristiwa Galung Lombok,
Masyarakat Mandar menyebutnya Panyapuang (penyapuan) di Galung Lombok (Desa Galung Lombok, Kec. Tinambung, Kab. Polman sekarang). Pembantaian massal yang dilakukan oleh pasukan Westerling terhadap rakyat Indonesia dari daerah Baruga, Tande, Simullu, Banggae dan sekitarnya (Kab.Majene sekarang) dari daerah Tinambung dan sekitarnya (Kab.Polman sekarang). Pembantaian ini berlangsung 1 Februari 1946 dan menewaskan rakyat dan para pejuang. Kurang lebih 700 orang, termasuk 32 orang tawanan anggota pejuang dari penjara Majene. Latar belakang terjadinya Peristiwa Galung Lombok karena Belanda sama sekali tidak leluasa kembali berkuasa di daerah Mandar. Belanda mendapat perlawanan keras dari rakyat Mandar. Para pejuang yang tergabung dalam organisasi perjuangan KRIS-Muda bahu membahu dengan para pejuang yang membentuk kelas kerang GAPRI 5.3.1 melakukan aksi mengganggu dan melawan Belanda. Belanda pun kewalahan. Perlawanan rakyat semakin sulit dipatahkan. Pasukan berbaret merah yang dikenal dengan sebutan Detachement Speciale Troepen (DST) beranggotakan 123 orang di bawah pimpinan Letnan Satu Raymond Pierre Westerling dikirim oleh pemerintah Belanda dari Batavia ke Sulawesi Selatan dan Barat untuk membina para pejuang untuk memadamkan semangat perjuangan Tetap Merdeka. Westerling memperoleh laporan, kantong-kantong perjuangan rakyat Sulawesi Selatan dan Barat merata di Afdeling Makassar, Pare-Pare, Bonthain, dan Mandar.
- Tanggal 11 Desember 1946,
Letnan Gubernur General Dr.H.J.Van Mook di Batavia mengumumkan keadaan darurat perang (SOB) untuk Afdeling Makassar, Pare-Pare, Bonthain, dan Mandar.
- Tanggal 1 Februari 1947,
Pasukan Westerling di bawah pimpinan Stufkens dan Vermulen mengepung kampung Baruga, Simullu, Segeri, Lembang, Tande (di kab.Majene) dan sekitarnya, Tinambung, Kanreapi, Lawarang (Kab.Polman) dan sekitarnya. Untuk menakut-nakuti rakyat, pasukan Belanda membakar beberapa rumah rakyat. Penduduk pada kampung-kampung tersebut dikumpulkan lalu digiring ke Galung Lombok. Di tempat itu perempuan dan anak-anak dipisahkan dari laki-laki. Kemudian pasukan Westerling mengadakan “pengadilan singkat” untuk mengetahui siapa di antara mereka yang di mata Belanda dicap
Ekstremis. Untuk mengetahui secara pasti siapa anggota organisasi perjuangan GAPRI 5.3.1., KRIS Muda,TRIPS dan ALRI, Stufkens dan Vermuelen mendatangkan 32 orang tawanan anggota pejuang dari penjara Majene, sekitar 10 km dari Galung Lombok. Mereka dipaksa menunjuk siapa di antara massa yang hadir yang menjadi anggota pejuang atau simpatisan pejuang. Mereka menutup mulut rapat-rapat. Karena tentara Belanda tidak berhasil memaksa mereka membuka rahasia, mereka dijejerkan dan ditembak satu persatu. Selanjutnya penembakan dan pembunuhan ditujukan kepada para pemuka masyarakat yang diduga membantu para pejuang. Kepala Distrik dan pemuka-pemuka masyarakat Baruga, Tande, Simullu, dan lain-lain satu persatu menemui ajal. Sementara penembakan missal terjadi di Galung Lombok, Pasukan GAPRI 5.3.1. di bawah pimpinan Basong yang berada di markas pejuang di Pumbeke, segera berangkat ke Segeri menyusul menyusul kawan-kawannya. Pasukan Westerling tidak juga muncul, pada hal mereka sudah lama menunggu. Di Talolo terjadi kontak senjata dengan pasukan Belanda yang sedang patroli. Seorang tentara Belanda hendak memperkosa seorang wanita, dicegah olah Harun dan Habin anggota pasukan pimpinan Basong. Pada pertempuran singkat di Talolo dua orang anggota pasukan GAPRI.5.3.1. gugur yaitu Sukirno dan Yonggang. Di pihak tentara Belanda terbunuh Dickso, Van Feuw, dan seorang lagi yang tidak diketahui namanya. Sesudah pertempuran singkat, Tanne bersama pasukannya datang untuk membantu kawan-kawannya. Tiba-tiba sebuah mobil pasukan Westerling datang. Pasukan Tanne melempar mobil itu dengan granat dan mobil itu pun terbalik masuk jurang. Begitu Stufkens dan Vermuelen mendengar 3 orang anak buahnya dan mobil pasukannya masuk jurang, keduanya langsung naik darah. Maka terjadilah pembantaian massal rakyat di Galung Lombok yang tadinya hanya pengadilan massal mencari para pejuang. Rakyat yang tidak berdosa banyak yang jadi korban. Pembunuhan berlangsung sekitar 07.00 pagi sampai pukul 17.00 sore. Di sore dan malan hari dilaksanakan penguburan seadanya oleh kerabat mereka yang masih hidup dan rakyat yang dipaksa oleh pasukan Westerling. Banyak pejuang dari organisasi perlawanan KRIS Muda, GAPRI 5.3.1., pasukan ekspedisi pejuang dari Kalimantan yang gugur. Untuk mengenang dan sebagai penghormatan kepada mereka dibangun Monumen Korban 40.000 Jiwa Galung Lombok di Desa Galung Lombok, kec. Tinambung, Kab.Polman.
Peristiwa Pembantaian di Pamboang,
- Tanggal 5 Februari 1947,
Peristiwa sejarah ini dilakukan oleh tentara KNIL, menewaskan 35 orang pahlawan termasuk tawanan dari Majene. Diantara korban gugur ialah Kepala Distrik Pamboang, Kepala Desa, dan Polisi Kampung. Sebelum ditembak mati, ada yang disiksa sehebat-hebatnya. Telinga, hidung, dan kemaluan dipotong.
Mandar di masa penjajahan Jepang,
Sama dengan daerah-daerah lainnya di Sulawesi Selatan. Merasakan tekanan, penindasan, dan penderitaan yang sangat besar. Para bekas/pemimpin partai dan pejuang kemerdekaan di Majene, Pamboang, Polewali, dan di tempat-tempat lainnya ditangkap oleh Belanda. Ditahan di Majene sekitar dua sampai tujuh hari lamanya, kemudian dilepaskan dengan perintah agar benar-benar membubarkan semua partai, pergerakan-pergerakan, dan sekolah-sekolah partikelir (swasta) yang ada, disertai ancaman sanksi yang berat apabila tidak dijalankan. Mulai berlaku kekuasaan main pukul dan main hakim sendiri terhadap siapa saja yang dianggap bersalah, walaupun kesalahan itu hanyalah kesalahan kecil. Dalam kesulitan hidup yang berat dan perlakuan sewenang-wenang muncul kelompok pemberani di Kerajaan/Distrik Allu di bawah pimpinan Muhammad Saleh Puanna I Su’ding (lebih dikenal dengan nama Hamma’ Saleh Puanna I Su’ding). Dia dan kawan-kawan melakukan perlawanan bersenjata terhadap pemerintahan Jepang pada bulan Maret 1945. Dimulai dengan soal penagihan pajak yang tidak ditaati oleh mereka. Mereka memilih mengembara di hutan-hutan. Sesekali menyerang polisi Jepang dan menewaskan para polisi Jepang tersebut sedekit demi dekit hingga Indonesia menyatakan kemerdekaan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar