A. Dari Sini Latar Budaya Itu Dimulai
Kebudayaan dan sejarah adalah dua hal yang tidak mungkin dipisahkan
secara absolut. Artinya, ketika pengkajian kebudayaan mencoba menarik
garis demarkasi dengan sejarahnya hampir bisa dipastikan yang bakal
ditemui adalah kegamangan kebudayaan.
Kebudayaan
apa saja dibelahan bumi ini selalunya dicatat oleh sejarah. Disitu
sejarah dengan setia akan menungguinyadan mencatatkan setiap jengkal
perubahan, pergeseran, bahkan pergesekan yang ditimbulkan oleh
kebudayaan berukut manusia sebagai pelaku kebudayaannya. Kebudayaan
sebagai gejala, kebudayaan setua sejarah manusia sendiri, yakni manusia
sebagai makhluk individual dan sekaligus sosial. Disini kebudayaan
dapat dimaknai sebagai pengejawantahan akan proses pengukuhan
pergeseran dan perkembangan kemanusiaan. Dan kenyataan kehidupanlah
yang lalu kemudian menjadi konsep kebudayaan. Fuad Hasan (1989).
Dalam
pemahannya seringkali kebudayaan dimaknai sebagai hasil cipta, karsa
dan krya manusia. Yang lalu oleh sejarah dicatatkan apa yang dihasilkan
oleh manusia itu sebagai kebudayaan.
Ketika
kacamata analisis akan diarahkan pada pengamatan atas realitas
kebudayaan suatu ranah budaya, sudah hampir pasti ia tak mungkin
meninggalkan akar sejarah peradabannya. Berangkat dari asumsi ini, maka
kiranya tidaklah salah jika diterjemahkan, bahwa memahami sejarah dan
kebudayaan tidak mungkin abai kepada realitas empiris sejarah peradaban
sebuah ranah budaya. Tempat berdiamnya sebuah komunitas kemasyarakatan.
Tak pelak upaya yang sama juga tampaknya harus dimulai, ketika, akan
coba dikaji perihal Mandar dan kebudayaannya. Salah satu syarat
utamanya adalah, mesti beranjak dari asal muasal, agenda pertumbuhan
dan perkembangan kebudayaannya. Hingga kepada letak geografis
kewilayahannya dan lain sebagainya yang berkaitan langsung dengan
nilai-nilai yang dipahami sebagai konsep kebudayaan. Mandar sebagai
sebuah entitas yang memiliki keluhuran budayanya, adalah salah satu
contoh kongkret yang amatlah menarik untuk di kaji secara mendalam.
Utamanya dalam kaitannya dengan realitas nilai yang terus berkembang
dan dinamis bersamaan dengan pergeseran waktu dan perubahan ruang. Jika
menilik periodisasi Kebudayaan Mandar, maka ada baiknya ditoleh apa
yang pernah ditulis oleh Leonard Y Andaya (2004),
Di
Sulawesi Selatan ada empat suku besar yakni, Makassar, Bugis, Toraja
dan Mandar. Dimana bugis mendiami seluruh bagian timur dan separuh
bagian barat dari semenanjung Sulawesi Selatan, Makassar mendiami
bagian barat dan selatan sedangkan Toraja Sa’dan kebanyakan mendiami
wilayah pegunungan utara berbatas dengan Bugis. Sementara Mandar
menempati wilayah pesisiran dan pegunungan atau pedalaman di bagian
barat daya. Khusus untuk Mandar terdiri atas dua pembahagian, yakni,
Pitu Ulunna Salu (tujuh kerajaan digunung atau di pedalaman- pen),
mereka ini secara etnis adlah orang Toraja. Dan mereka yang tinggal
dipesisiran yang berqada dibawah sebuah konferedasi, Pitu Ba’bana
Binanga (tujuh kerajaan di pesisiran- pen).
Mandar,
jika dikaji peradabannya, utamany dalam konteks nilai dan alegori
budayanya. Sudah hampir pasti, mesti diawali dan dimulai dari pemahaman
dasar atas ranah pijakan sejarah yang melatarinya, seperti yang telah
dijelaskan diatas tadi.
Dari
segi kebahasaan penamaan akan Mandar sendiri masih terjadi kesimpang
siuran. Hal ini mudah di pahami, mengingat minimnya simbol budaya
Mansar yang dapat dengan gamblang menjelaskan penggunaan label kata
Mandar pada manusia yang berdiam di pesisiran dan pedalaman bagian
barat sebelah utara Sulawesi Selatan ini. Atau yang kini disebut
sebagai Wilayah Sulawesi Barat pasca pemekaran provinsi.
Namun untuk mempermudah pemahaman akan label penanaman Mandar itu sendiri dapat ditelisik perkosakata seperti, dharaman, manda’ dan meandar. Sebahagian pendapat mengatakan bahwa kosakata Mandar sendiri berasal dari bahasa Hindu yang terdiri dari dua kata man dan dhar yang jika digabungkan akan berbunyi dharaman yang berarti mempunyai penduduk. Yang lalu kemudian mengalami perubahan, hingga menjadi Mandar. Ibrahim Abbas (1999).
Sementara
itu Mandar sendiri dapat menunjukkan aliran sungai yang dikenal dengan
Sungai Mandar. Berhulu Ulu Manda’ di bahagian pegunungan Kecamatan
Malunda Kabupaten Majene, dan bermuara membelah kota kecil Tinambung di
Kecamatan Tinambung Kabupaten Polmas. Sehingga kini tidak jarang,
ketika seseorang mau melakukan perjalanan ke Tinambung sebutan yang
keluar dari bibirnya adalah ia hendak ke Mandar, yang artinya ke
Tinambung yang untuk penggunaan istilah penamaan ini, tidak jelas
benar, entah sejak kapan dimulai penyebutannya.
Hal
yang mirp, juga pernah diungkap oleh DR. Edwar L. Poelinggomang, MA.
(2004)yang menyebutkan, bahwa interfretasi tentang pengadopsian kata
Mandar yang berarti sungai tersebut adalah cukuplah beralasan. Karena
penamaan persekutuan Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu
sendiri telah menggunakan keterangan sungai, yakni Salu dan Binanga
yang keduanya jika diterjemahkan dalam bahasa Mandar bermakna sungai.
Hal ini lalu diperkuat lagi oleh adanya penggunaan suku kata di daerah
Balanipa yang jika menyebutkan sungai, selalu menggunakan kata Mandar.
Menurut
Drs. Darwis Hamzah, seperti yang kutip Ibrahim Abbas (1999), Mandar
berasal dari bahasa Ulu Salu daerah pegunungan, yang berarti manda’ yang sama dengan makassa’ atau masse’
yang berarti kuat. Disamping penamaan tersebut diatas, hal yang dapat
dijadikan bahan pertimbangan adanya kata-kata dalam bahasa Mandar yang
hampir mirip dan relatif memiliki kesamaan bunyi dengan kata Mandar.
Seperti meandar yang berarti mengantar dan mandarra yang dapat berarti memukul dan mendera atau sipamandar yang berarti saling menguatkan.
Sipa' mandar
sendiri, yang berarti saling menguatkan dapat dikaitkan dengan adanya
penyatuan tujuh kerajaan pantai dan tujuh kerajaan dipegnungan atau
Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga pada abad ke-16. Muh. Ridwan
Alimuddin (2003).
Namun
lain halnya klaim yang dikemukakan A. Syaiful Sinrang (1980), yang
menyebutkan bahwa Mandar juga dapat diterjemahkan sebagai bercahaya mandara’na dan pandara’na di Ulu Manda’ di Kecamatan Malunda Kabupaten Majene. Atau ngmandara dan mandarang yang dapat diterjemahkan sebagai memanaskan dengan api.
Tetapi
pada akhirnya dari mana dan apapun asal kata Mandar, hingga kini belum
ada yang dapat dengan gamblang menyimpulkannya. Sebab yang pasti,
Mandar adalah sebuah suku bangsa yang ada di Indonesia yang berada di
Sulawesi Barat (pasca pemekaran propinsi Sulsel-pen) dan berdiam di dua
wilayah yakni pesisiran dan pegunungan atau pedalaman dan berada di
bagian barat Pulau Sulawesi atau pesisir utara Propinsi Sulawesi
Selatan. Terdiri atas beberapa kabupaten yakni, Polmas, Majene dan
Mamuju (Plus Mamasa dan Mamuju Utara Pasca Pemekaran-pen). Dan hingga
kini Mandar yang diterjemahkan sebagai Sungai Mandar yang hinggakini
mengalir dan bermuara membelah Kota Tinambung di Kecamatan Tinambung.
Lalu
pertanyaan berikutnya adalah, dari mana pula asal muasal sejarah dan
beradaban manusia Mandar. Untuk menjawabnyamungkin ada baiknya jika
dimulai dengan mencoba melakukan pengklasifikasian atas zaman dan era
peradaban manusia. Khusus untuk Mandar dan sejarah peradabannya dapat
dibagi atas dua kategori dasar pembahagiaan. Atau yang lebih lazim
dikenal sebagai periodisasi sejarah. Yang pertama adalah, zaman
prasejarah dan zaman sejarah. Zaman prasejarah sendiri didasarkan pada
uraian yang mencoba menguntai sejarah peradaban suatu masyarakat yang
mendiami suatu wilayah, dimana komonitas masyarakat tersebut belum
meluk huruf atau tulisan.
Hal
yang juga menjadi pertimbangan dari prasejarah sebagai pilihan
periodisasi ini adalah, pada era prasejarah-lah, peradaban dianggap
sebagai masa pembentukan kebudayaan asli Indonesia. Ayatroehadi (1986).
Yang
tentu dasar pengkajiannya adalah didasarkan pada simbol dan ikon-ikon
kebudayaan atau benda-benda bersejarah yang dihasilkan, berikut redeksi
masa pembuatan dari benda-benda bersejarah tersebut. Dasra pembagian
berikutnya adalah zaman pasca prasejarah atau yang acap dikenal dengan
zaman sejarah. Dimana pada zaman ini huruf atau tulisan sudah mulai
dikenal.
Sehingga
model dan dasar pengkajiannya didasarkan pada bukti-bukti tertulis yang
ada setelah sejarah itu mulai mencatatkannya. Untuk zaman sejarah atau
setelah prasejarah di Mandar ini dapat didasarkan pada dua kategorisasi
pembagian yakni; Zaman Kerajaan dan yang terakhir adalah Zaman Masuknya
Islam di Mandar.
B. Zaman Prasejarah
Seperti
yang ditulis Muh. Ridwan Alimuddin (2003), menjelaskan bahwa,
pembahagian yang pertama adalah, zaman prasejarah atau zaman yang
meliputi zaman batu tua, zaman batu pertengahan dan zaman batu baru.
Yang jika diurai penelusurannya, dapat dimulai sejak, adanya penggalian
daerah Sampaga pada bulan Mei 1933 di Lembah Sungai Karama Kabupaten
Mamuju yang menemukan beberapa peralatan prasejarah seperti batu dan
gerabah. Yang lalu kemudian dilanjutkan dengan dua kali penelitian di
tempat yang sama di Bukit Kamassi’ yang menemukan alat-alat seperti
pisau, kapak batu, kapak batu segi empat mata panah yang halus, beserta
pecah-pecahan tendiker yang berukir.
Penggalian
pertamanya sendiri dilakukan oleh PV. Van Callenvels pada tahun 1933 di
bagian tikur sedangkan penelitian yang kedua dilakukan oleh Dr. HR. Van
Hee Karem 1949 menemukan alat-alat batu, seperti kapak batu, yang ada
kemiripannya dengan Neolithic di Luzon (Philipina), Manchuria
(Mongolia), Hongkong dan sebagainya. Penelitian yang dilakukan di
bagian selatan puncak Magassi’ ini juga ditemukan gerabah berhiasyang
dinilai oleh para arkeolog telah menunjukkan keteraturan kebudayaan di
daerah Kalumpang Kabupaten Mamuju ini terlingkup dalam satu wilayah
Sa-huynh Kalanay, Philipina, Vietnam dan beberapa daerah di kawasan
Pasifik.
Hal
berikutnya juga pernah dilakukan oleh Dr. FDK Bosch yang mencoba
membandingkan hasil temuan Amiruddin Maula salah seorang tokoh pendidik
di Kabupaten Majene yang menemukan Patung dan dibandingkannya dengan
patung Budha dari Solok Sumatera Barat, Kotabangun Jambi, Kalimantan
Barat, Gunung Lawu, Jawa Tengah, kesimpulannya, tidak ada satupun
kemiripan atasnya. Dan setelah dibandingkan dengan patung budha yang
ada di India, Muka dan Gandhara, kesimpulannya kemudian bahwa patung
tersebut dipengaruhi oleh gay dan kemiripan dengan Budha Greeco yang
ada di India Selatan yang beraliran kesenian Amarawati yang juga sangat
besar pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara pada abad ke-2 dan 7 Masehi.
Dari
sini kemudian dapat diterjemahkan bahwa keberadaan Manusia pertama di
Mandar sesungguhnya telah lama ada. Hal itu dikuatkan oleh hitungan
abad yang menjadi dasar dan pertimbangan atas temuan-temuan tersebut
diatas. Yang kemudian diperkuat lagi oleh hasil penelitan yang konon
pernah dilakukan HR Van Heekern bahwa kapak-kapak pembias yang
ditemukan di Indonesia ada kemiripan dengan yang ditemukan di Yunan dan
Tongkin (Tiongkok Selatan). Hal ini menguatkan pemahaman dan lalu
melahirkan kesimpulan bahwa, orang-orang Austronesia sesungguhnya
berasal dari Yunan dan Tongkin dan masuk ke Indonesia sejak 1000 tahun
yang lalu.
Beranjak
dari pengertian diatas ini, hal yang juga mungkin ada baiknya jika di
ungkap adalah, tentang pandangan lain yang menjelaskan bahwa orang
Sulawesi Selatan-termasuk Mandar-pada umumnya berasal dari ras
Mongoloid yang masuk melalui jalur Philipina, lalu menyeberang ke
Sulawesi dengan jalan menyusuri Selat Makassar dan merapat di pesisiran
Barat Pulau Sulawesi. Konon seperti dikisahkan pula bahwa, kedatangan
mereka pertama kali secara berkelompok dan bertahap. Awalnya tinggal
dan berdiam didaratan dekat pesisiran, lalu dengan perlahan mereka lalu
masuk gunung dan tinggal di gua-gua, hidup berburu dan mengembara di
hutan-hutan. Ibrahim Abbas (1999).
Mandar
seperti halnya komunitas tradisoinal dan klasik lainnya yang juga
mengalami kekaburan mata rantai sejarahnya, kalau tidak kasar disebut
sebagai keterputusan pintalan sejarah. Hal mana lebih di akibatkan oleh
adanya kepercayaan bahwa kelahiran manusia pertama di Mandar lahir dan
turun secara sporadis dari khayangan atau turun dari langit (manusia
langit-pen), seperti di beberapa daerah lainnya di Indonesia. Hal itu
ditandai dengan adanya To Manurung yang konon adalah manusia pertama di
Mandar. Lahir dari belahan bambu atau yang lebih dikenal dengan To
Wisse di Tallang. Atau yang lahir dan miniti dari atas buih air laut
yang dikenal dengan To Kombong di Bura atau yang terbuang dari perut
ikan hiu yang dikenal dengan Tonisesse di Tingalor. Hal ini tentu sulit
untuk dapat dipertanggung jawabkan secara ilmia. Namun itulah realitas
kesejarahan yang lalu melegenda dan di yakini adanya oleh sebagian
besar masyarakat Mandar, dan Konon termaktub dalam lontar (naskah
lokal-pen). Lebih jauh dari itu, To Manurung inilah kemudian yang juga
di yakini menjadi cikal keturunan manusia pertama dan penguasa pertama
di Tanah Mandar.
Sampai
di sini juga ada pemahaman, masih mengutip lontar Mandar, bahwa sekitar
tahun 1190 M atau abad 12 muncul sepasang manusia yang kemudian
bergelar To Manurung di hulu Sungai Sa’ dang. Namun karena terjadi
peperangan antara komunitas masyarakat pendatang dan komunitas
masyarakat asli yang membuat salah satu komunitas masyarakat itu
kemudian terdesat itu.
Namun
versi lain juga ada yang menyebutkan bahwa awal muasal manusia Mandar
adalah Pongkapadang yang merupakan turunan dari Tobisse di Tallang dan
Tokombong di Bura yang lalu melahirkan 7 anak di hulu Sungai Sa’ dang
yang kemudian menyebar di berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Salah
satu diantara adalah Pongkapadang yang kemudian menurut penuturan
sejarah memilih berdiam di Tabulahan dan menikahi seorang gadis yang
kemudian dikenal bernama Torije’ne. Kedua pasangan ini kemudian beranak
pinak yang kemudian di percaya menjadi pemimpin di beberapa kerajaan di
Mandar. Sekitar abad ke-11 M. Sarman Sahudding (2004).
Belum
lagi apa yang disebutkan oleh DR. Edward L. Poelinggomang, M.A. (2004),
yang menuliskan bahwa manusia pertama Mandar, seperti yang ada dalam
Lontar seperti yang dikutip Salahhuddin Mahmud (1984) adalah, mendarat
dan menetap di daerah hulu Sungai Sadang. Keterangan ini menurutnya DR.
Edwar L. Poelinggomang, M.A. dapat diterjemahkan bahwa, pemungkiman di
daerah ini telah terjadi jauh sebelum terjadinya penurunan permukaan
laut (masa glasial). Lalu kemudian karena bencana alam, wabah penyakit,
persoalan adat dan sistem kekuasaan yang membuat mereka berpindah dan
membuat pemukiman baru.
Disamping
itu, mengenai manusia pertama Mandar seakan telah pula ada kesepakatan
bahwa manusia pertama itu adalah Tomanurung, dimana diterjemahkan
sebagai tokoh pemula pemukiman yang kemudian tersebar kebeberapa
daerah.
Dari
uraian diatas, jelas menunjukkan kesipangsiuran sejarah yang sungguh
akan membingungkan. Namun tetap mesti dicatat, sebab penyaksian atas
kejadian-kejadian yang terjadi dan diyakini adalah realitas kesejarahan
yang juga bertumpuk pada alasan-alasan historis yang memang susah di
tampik. Kendati memang, setiap orang yang akan melakukan pendalaman
atas zaman prasejarah di Mandar akan mengalami kesulitan-kesulitan,
bahkan kebuntuan.
Utamanya
diakibatkan belum adanya kesepakatan antara peneliti dan para pelaku
sejarah dan kebudayaan yang koncern terhadap Mandar atas zaman dan
periodisasi prasejah di Mandar. Sementara satu sisi realitas-realitas
pemahaman historis tersebut tetap hidup berkembang hingga kini di
masyarakatnya.
Maka
menarik apa yang diungkap oleh Mundarjito (1982) bahwa tidak semua
pikiran manusia dapat diwujudkan kedalam tingka laku lahiriah. Sama
seperti bahwa, tidak semua bahwa hasil budaya (sebagai fossilized
behavior) mencerminkan mental template (deetz) dari seluruh pikiran dan
tingkah laku manusia yang sanggup terekam dalam wujud benda budaya.
Yang ada hanyalah sebagian kecil saja, dari sekian banyak benda budaya
yang dapat selamat hingga kini. Sebagian besar rusak, sebagian besar
hilang. Sedangkan sebagian besar lainnya masih berada di tanah dan
dalam air.
Bahkan
lebih jauh Rathje dan Schiffer, (1980) menyebutkan kendati benda
bertulisan, yang itupun kalau diketemukan, telah memuat pikiran manusia
dan masyarakat. Tetapi tidak lantas dapat dikatakan telah menjangkau
semua asfek kehidupan semua golongan masyarakat masa lalu. Sebab bisa
saja ada belum tentu mengandung kebenaran sepenuhnya. Hal ini
dikarenakan kemungkinan adanya bias dari penulis masa lalu atau
peneliti masa kini. Dari pandangan ini dapat disimpulkan bahwa kian
abstrak sasaran studi, maka akan kian menajam pula metodologi yang
mesti digunakan. Atau makin jauh masa-masa yang ingin dipelajari, maka
makin sukar pula mengurangi kesenjangan-kesenjangan di dalamnya.
C. Zaman dan Sejarah Kerajaan di Mandar
Memulai
penelusuran sejarah kerajaan pertama di Mandar mungkin bisa mengambil
dan membandingkan dengan tatanan kerajaan lainnya. Yang selalu beranjak
dari adanya manusia pertama, yang lalu kemudian berlanjut kepada
mobilitas dinamis penduduk yang melahirkan arus perpindahan.
Perpindahan masyarakat inilah kemudian yang melahirkan arus pendatang
ke suatu komunitas mesyarakat tertentu. Kemudian berlanjut pada masa
lalu lintas kepentingan dalam masyarakat tertentu. Kemudian berlanjut
pada lalu lintas kepentingan dalam masyarakat heterogen. Sehingga
terkadang akut memicu komplik dan peperangan diantara mereka. Sebagai
konsekwensi logis dari kian memadatnya lalu lintas kepentingan dalam
masyarakat pendatang dengan masyarakat yang didatangi. Dari peperangan
ini pula kemudian melahirkan para pemimpin atau penguasa
kerajaan-kerajaan lokal tersebut. Tetapi tentu pemahaman ini tidak
lantas serta merta akan digunakan secara serampangan. Sebab apapun
alasannya, penelusurannya tentu didasarkan pada fakta-fakta sejarah
yang ada di masyarakat tersebut. Paling tidak melihat apa yang dipahami
dan diyakini ada dan terjadi pada komunitas masyarakat yang berdiam
diwilayah tersebut.
Di
Mandar seperti cerita yang berkembang dan dipahami, termasuk yang ada
didalam lontar seperti yang ditulis Ibrahim Abbas (1999) bahwa kerajaan
pertama di Mandar muncul secara spontan dari langit (manusia
langit-pen). Hal itu menilik pada dikenalnya seorang sosok yang bernama
To Manurung di hulu Sungai Sa’dang pada abad ke-12 atau sekitar tahun
1190 M.
Kemudian
terjadi peperangan karena adanya komunitas pendatang yang melakukan
perlawanan atas mereka. Sampai disini dipahami bahwa cikal bakal
kerajaan muncul pada saat itu, dimana To Manurung kemudian menjadi Raja
pertama di hulu Sungai Sa’dang.
To
Manurung inilah kemudian yang melahirkan seorang putra yang bernama To
banua Pong. To Banua Pong kemudian melahirkan lima orang anak yang
kemudian tersebar ke beberapa tempat di Sulawesi Selatan. Yang salah
satu diantaranya bernama I Pa’darang. I Padarang inilah kemudian
melahirkan raja-raja di Bone dan raja-raja di Mandar. Namun seperti
yang lalu disahuti oleh A Syaiful Sinrang setelah melihat beberapa
lontar menyebutkan bahwa dari Banua Pong lahir seorang anak yang
menjadi cikal bakal para pendiri kerajaan di Pitu Ba’bana Binanga dan
Pitu Ulunna Salu. Ibrahim Abbas (1999).
Sedang
versi lainnya malah menyebutkan bahwa cikal bakal kerajaan muncul lebih
duluan yakni pada abad ke 11 M. Dari seseorang yang bernama
Pongkapadang yang tak lain adalah anak To Kombong Dibura dan To Bisse
Ditallang di hulu Sungai Sa’dang yang menikah dengan Tori Je’ne. dan
menjadi pemimpin pertama kerajaan di Tabulahan. Sarman Sahudding (2004).
Sementara
itu, Salahuddin Mahmud, seperti yang ditulis Muh. Ridwan Alimuddin
(2003), bahwa kerajaan di Mandar telah ada sejak abad ke empat yang
lalu dikaitkan dengan momentum berdirinya kerajaan Kuta Kertanegara di
Kalimantan Timur. Hal ini dikuatkan oleh adanya pelabuhan yang terdapat
di daerah Sikendeng Kalumpang Kabupaten Mamuju. Belum lagi Muara Sungai
di Karama di Mamuju yang berseberangan keluar dengan Muara Sungai
Mahakam di Kalimantan Timur yang menjadi titik sentral pelayaran sungai
menuju Hulu Sungai Mahakam. Namun karena infasi militer dan wabah
penyakit kerajaan di Mamuju ini kemudian dipisahkan pindah ke Toraja
atau Luwu.
Satu
hal yang menarik, utamanya yang ditulis oleh Sarman Sahuddin dan
Ibrahim Abbas sama-sama menyakini bahwa kerajaan pertama di Mandar
berasal dari Hulu Sungai Sa’dang, sementara yang satunya lagi Muh.
Ridwan Alimuddin, justru meyakini bahwa kerajaan pertama dan telah ada
jauh sebelumnya, seperti apa yang dikemukakan oleh beberapa penulis
lainnya. Dimana menurutnya sejarah kerajaan di Mandar dapat ditelusuri
sejak berdirinya kerajaan di Kutai Kertanegara. Hala yang terakhir ini
juga didasarkan pada temuan sejarah yang menunjukkan adanya cikal bakal
kerajaan Mandar di Mamuju kala itu.
Lebih
lanjut Muh. Ridwan Alimuddin menjelaskan, bahwa zaman kerajaan juga
dapat ditelusuri sejak zaman Tomakaka, istilah lain bagi raja atau
Mara’dia ketika itu. Pada era inilah Mandar kala itu dipimpin oleh
seorang Tomakaka. Lalu entah mangkat atau apa, era tomakaka kemudian
berakhir, ditandai dengan munculnya ; Tomakaka Tombara; Tomakaka
Tombara ‘sendiri adalah pimpinan persekutuan hukum yang timbul dan
berdiri sendiri-sendiri dalam komunitas lokal mereka.
Untuk
Zaman Tomakaka ini sendiri tidak jelas benar kapan munculnya. Yang ada
hanya dugaan bahwa ia ada sebelum zaman Lagaligo. Sedang I Lagaligo
sendiri, seperti yang ditulis Leonard Y Andaya (2004), diciptakan di
Luwu pada masa Puncak kekuasaannya yakni pada abad-9.
Dalam
perkembangan berikutnya, Tomakaka lalu menjadi pemimpin di daerah
pesisiran yang melenyap setelah tampilnya Mara’dia atau raja pertama
Todilaling. Sementara di wilayah pegunungan Tomakaka tetap ada walau di
wilayah pesisiran zaman Tomakaka sendiri telah berakhir. Dalam tatanan
administratif, Tomakaka sesungguhnya adalah orang yang dituangkan dalam
komunitas lokal, tetapi ia memiliki kedaulatan penuh kedalam dan keluar
komunitas lokalnya. Hal yang dapat dijadikan acuan dalam menelusuri
zaman tomakaka ini juga adalah apa yang pernah ditulis dalam
Bestuurmemorie seorang asisiten Residen Mandar, W. J. Leyds yang
menyebutkan, bahwa sebelum jaman Tidilaling telah terdapat banyak
kerajaan-kerajaan kecil di Mandar yang untuk itu dikepalai oleh seorang
Tomakaka. Seperti Tomakaka yang memimpin di Pasokkorang yang berada di
Luyo atau dekat Mambu.
Namun
karena mendapatkan penyerbuang dari gunung, maupun dari pesisiran
Tomakaka di Pasokkorang ini lalu lenyap, bersamaan dengan hangusnya
rumah-rumah penduduk Sarman Sahuddin (2004).
Sementara
itu peta dan agenda sejarah perjalanan kerajaan Mandar juga tak boleh
luput dari sejarah kerajaan balanipa yang kala itu ditandai dengan
hadirnya Todilaling atau dikenal sebagai Tomayambungi sebagai mara’dia
pertama. Yang setelah ia kembali dari Goa berupaya mempersatukan
negri-negri besar atau lebih dikenal sebagai Appe Banua Kaiyyang (empat
kerajaan besar-pen) yang meliputi, Napo, Mosso, Samasundu dan Todang.
Masing-masing daerah itu juga dipimpin oleh Mara’dia atau raja yang
diketahui oleh Tomayambungi. Dan setelah ia mangkat, lalu digantikan
oleh anaknya yang bernama Tomepayung.
Pada
perjalanan kepemimpinan Tomepayung ini lalu dikenal sebuah nama Puang
Dipoyosang atau Puang Limboro sebagai sosok yang banyak membantu
Tomepayung dalam kepemimpinan. Bantuan yang konkret atas kepemimpinan
Tomepayung ini ditunjukkan oleh Puang Limboro dengan kemampuannya
merampung dan mempersatukan beberapa kerajaan diwilayah Pitu Ba’bana
Binanga, seperti kerajaan Sendana, Tappalang, Banggae, Pamboang dan
Mamuju. Lalu membuat persekutuan kekerabatan (konfederasi) yang
kemudian dikenal dengan Annang Ba’bana Binanga (enam kerajaan
pesisir-pen),minus kerajaan Binuang yangdiketahui oleh Tomeyung sebagai
Mara’dia Kedua Balanipa.
Bertitik
tolak dari sinila lalu kemudian dikenal adanya perjanjian atau Muktamar
Tammajara. Yang dalam banyak catatan menyebutkan, Muktamar atau
perjanjian Tamajarra pertama yang dijelaskan pada abad-15 M. Konon
perjanjian ini dilatar belakangi oleh keinginan untuk menyerang dan
menghancurkan Tomakaka Pasokkorang yang dinilai telah lama mengganggu
ketentraman daerah Mandar yang kala itu belum berbentuk Pitu Ba’bana
Binanga.
Sahdan
pasca Mukatamar atau perjanjian Tammajarra pertama itulah, lalu keempat
kerajaan ini menyerang dan memberanggus kerajaan Pasokkorang. Namun
Pasokkorang sendiri sempat malarikan diri ke Sawitto (daerah di
Kabupaten Pinrang-pen). Lalu digelarlah kembali Muktamar Tamajarra ke
dua yang juga digelar di Balanipa dan masih diketua oleh Tomepayung dan
sudah dihadiri oleh tujuh kerajaan pesisiran, termasuk Binuang yang
absen pada Muktamar Pertama.
Motivasi
dari Ikrar Tammajarra kedua ini adalah untuk menguatkan barisan kembali
melawan dan menyerang Pasokkorang yang dikhawatirkan akan kembali
berjaya setelah kembali dari Sawitto. Pada Muktamar atau perjanjian
Tammajarra kedua ini juga lahir rumusan untuk menjadikan Kerajaan
Balanipa sebagai bapak dan Kerajaan Sendana sebagai ibu dalam konsep
dan tatanan adat. Kendati Balanipa sebagai Bapak dan Sendana sebagai
Ibu dalam tatanan adat, namun kerajaan-kerajaan lainnya tetap memiliki
otoritas kewilayahan masing-masing, kecuali dalam hal pertahanan dan
keamanan. Dari Ikrar Tammajarra kedua ini pulalah terealisir keinginan
untuk menyatu dalam sebuah persekutuan Pitu Ba’bana Binanga ini, walau
sebelumnya idea dasarnya telah muncul pada saat Ikrar Tammajarra
pertama.
Versi
lain diseputar sejarah Muktamar Tammajarra ini juga sempat ditulis oleh
Ibrahim Abbas (1999) yang menyebutkan bahwa, Ikrar Tammajarra pertama
justru terjadi pada zaman Mara’dia Todilalang I Mayambungi atau raja
Balanipa pertama dan bertempat di Tamajarra yang juga dihadiri oleh
enam kerajaan Mandar di pesisiran pantai, minus Kerajaan Binuang. Hasil
dari Ikrar Tammajarra pertama ini kemudian memuat materi kesepakatan
untuk mengangkat Balanipa sebagai bapak pada tatnan adat, dan Sendana
sebagai Ibu. Yang pengandaiannya adalah, Balanipa berfungsi sebagai
penerang atau pelita bagi enam kerajaan tersebut. Sedangkan Sendana
sebagai payung atas enam kerajaan tersebut.
Sedang
pada Ikrar Tammajarra kedua yang disponsori oleh Todiwesoang (Raja
Balanipa ke-4), dihadiri oleh raja-raja dari tujuh kerajaan pesisiran.
Termasuk kerajaan Sipajolangi (Raja Binanga I). Adapun ketetapan yang
lahir dari Ikrar Tammajarra kedua yang juga telah dihadiri oleh
kerajaan Binuang ini adalah, mengenai ketetapan-ketetapan masalah
hukum, dimana persoalan di tingkat otoritas kerajaan masing-masing yang
tak lagi dapat diretas. Maka yang berhak menyelesaikannya sebagai hakim
tingkat pertama adalahibu yakni Sendana. Jika selama tujuh hari tidak
juga ditemukan kepastian hukum maka Balanipa-lah sebagai hakim akhir
dari persengtaan hukum atau persoalan kemasyarakatan lainnya.
Sementara
itu konfederasi tujuh kerajaan di gunung sendiri juga membentuk sebuah
persekutuan, atau yang kemudian dikenal sebagai Pitu Ulunna Salu yang
menurut sejarah Pitu Ulunna Salu digelar pada akhir abad ke-15 M yang
ditetapkan di Talipukki sebagai Lisuan Ada’. Sarman sahudding (2004).
Sementara
itu menurut Muh. Ridwan Alimuddin (2003) deklarasi Pitu Ulunna Salu
sendiri digagas dan diprakarsai oleh Londong Dehata alias Tomapu’.
Muktamar Pitu Ulunna Salu sendiri dihadiri oleh Rantebulahan sebagai
Indo Lembang, Aralle sebagai Indo Kadanene’, Indo Lita’ Petaha Mana
Pabisa Parandangan, Mambi sebagai Lantang Kadanene’, Tabang sebagai
Bubunganna Kadanene’, dan Bambang sebagai Bubunganna Kadanene’.
Sedang
menurut, Ibrahim Abbas (1999), musyawarah pembentukan persekutuan Pitu
Ulunna Salu digelar di daerah Mambi dihadiri oleh tujuh kerajaan dan
menelorkan beberapa kesepakatan seperti, Rantebulahan sebagai ketua
persekutuan yang bergelar Indo Lembang, Aralle sebagai Wakil Ketua
Persekutuan, Mambi sebagai tempat Permusyawaratan Persekutuan,
Sementara Tabang sebagai Bumbunna Sangkadanne,’ Dan Bambang sebagai
Dandirinma Sangkadann,’ Matangnga sebagai Tundu’ Masande’na, serta
Tu’bi sebagai Tomatuanna Sangkadanene.’
Yang
menarik dari sejarah persekutuan kerajaan di Pitu Ulunna Salu tersebut
adalah adanya ketidak sepahaman apakah Tu’bi juga adalah bahagian yang
masuk kedalam persekutuan tersebut atau tidak. Sebab yang jelas Sarman
Sahudding (2004) menulis bahwa, persekutuan Pitu Ulunna Salu terdiri
atas, Tabulahan, Rantebulahan, Mambi, Aralle, Matangga, Tabang dan
Bambang.
Dalam
tulisannya itu ia juga mengakui bahwa memang ada semacam kontroversi
sejarah. Tu’bi atau Bambang-kah yang masuk dalam persekutuan tersebut.
Versi pertama menyebutkan, Bambang-lah yang masuk dengan alasan
penyebaran agama Kristiani di Bambang yang cukup massif. Sedang paham
lainnya juga memahami, bahwa justru Tu’bi-lah yang masuk, juga karena
alasan agama Islam yang mayoritas di Tu’bi, sedangkan Bambang muncul
kemudian disebabkan karena Bambang kemudian dikukuhkan sebagai Su’buan
Ada’di Pitu Ulunna Salu.
Dan
jika disandingkan dengan konteks ketatanegaraan di kekinian,
persekutuan di Pitu Ulunna Salu dapat diterjemahkan sebagai berikut :
Tabulahan sebagai eksekutif yang bertugas menangani masalah
kesejahteraan, kesehatan, keagamaan dan pendidikan di Pitu Ulunna Salu,
Sedangkan Rantebulahan, bertugas sebagai eksekutiv yang berfungsi
menangani masalah politik, keagamaan terutama menyangkut perang fisik
dan perekonomian. Sementara Mambi, lebih fokus menangani bidang
pertanian dalam bidang eksekutiv sedang Mambi dalam bidang legislative
bertugas sebagai tempat penyelenggaraan musyawarah adat Pitu Ulunna
Salu.
Aralle
bertugas sebagai juru penerangan, sebagai diplomator atau pemerintahan
adat. Baik ke dalam maupun ke luar. Lebih khusus, menjadi pusat
informasi, utamanya kepada Pitu Ba’bana Binanga mengenai hubungan kedua
wilayah besar serumpung tersebut. Sedang dalam bidang legeslative
Aralle adalah kedua sedang permusyawaratan adat. Matangnga sendiri,
berfungsi dalam bidang eksekutiv sebagai benteng pertahanan, khususnya
jika persekutuan dalam keadaan genting dan mendesak akan adanya
serangan dari luar wilayah persekutuan. Di bidang legislative
Matanganga bertanggungj awab atas keamanan dan ketertiban jalannya
sidang musyawarah adat jika digelar.
Sedang
Tabang bertugas menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan dalam bidang
eksekutiv menjaga dan mengamankan hasil-hasil musyawarah dalam bidang
legislative. Sementara Bambang bertugas sebagai penghubung dengan semua
anggota persekutuan jika akan digelar musyarah adat dan menyimpan serta
menjaga kerahasiaan hasil musyawarah adat. Dan yang terakhir Tu’bi
memiliki tugas menjaga batas wilayah, sekaligus menjadi penghubung
terkhusus kaitannya dengan kepentingan rakyat dua wilayah persekutuan,
utamanya dengan Pitu Ba’bana Binanga.
Hal
lain yang juga tak kalah menariknya dari sejarah kerajaan di Mandar
adalah, dikenalnya beberapa perjanjian, sebagai salah satu asfek dari
sekian banyak asfek sejarah yang menyokong etnis atau suku bangsa yang
bernama Mandar ini. Yang untuk itu dapat di baca jejak-jejaknya hingga
kini. Artinya adalah ketika terbangun kesepakatan bahwa Mandar adalah
sebuah negeri yang besar dan memiliki peradaban yang agung berikiut
sejarahnya. Maka andil sejarah beberapa perjanjian dalam menoreh jejak
pada tapak-tapak sejarah kerajaan Mandar adalah sebuah keniscayaan yang
mutlak dibahasakan. Dari lintas alur logika inilah akan dicoba diurai
beberapa perjanjian dan deklarasi yang lalu kemudian menyerah di Tanah
Mandar selain sejarah Muktamar Tamamajarra Pertama dan Muktamar
Tammajarra Kedua serta deklarasi Pitu Ulunna Salu.
Jika
dipilah-pila, maka beberapa perjanjian tersebut seperti dikemukakan
oleh Drs. Muis Mandra (2004) adalah; Perjanjian Rantebulahan yang konon
terjadi pada abad ke-17 M. Antara kerajaan Rantebulahan dan mewakili Pitu Ulunna Salu dan Balanipa dan mewakili Pitu Ba’bana Binanga. Motif dari perjanjian ini adalah untuk memperkecil perbedaan pendapat guna persatuan dan kesatuan.
Sedang
perjanjian berikutnya adalah, Perjanjian Malunda yang juga diklaim
terjadi pada abad yang sama dengan Perjanjian Rantebulahan. Perjanjian
ini dilangsungkan antara Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga untuk menetralisi masalah Laikang Tallu dan Lante Samballa di Taang.
Berikutnya adalah, perjanjian Passulurang Bassi
di Lakahang yang juga diduga terjadi pada abad ke-17 M yang bertujuan
untuk membicarakan tentang masalah orang Pasokkorang sebagai rampasan
perang di Mandar dan masalah tiga perempat dari daerah Palili’ Massedan
yang menghadap ke Pitu Ulunna Salu dan seperempatnya menghadap ke Pitu
Ba’bana Binanga.
Perjanjian
lainnya adalah, Perjanjian Sungki’ yang diduga terjadi sekitar abad
ke-18 M yang materinya adalah membicarakan tentang status Palili’
Massedan. Sedang perjanjian Damadama’ adalah perjanjian yang
berikutnya, dan diduga juga terjadi pada abad yang sama dengan
Perjanjian Sungki’ yang materinya juga membicarakan tentang status
daerah Paili’ Massedan, utamanya menyangkut hukum yang berlaku di
daerah tersebut. Dimana ditetapkan melalui perjanjian ini, bahwa hukum
yang digunakan di Palili’ Massedan adalah hukum yang hidup di daerah
tersebut.
Perjanjian berikutnya adalah Allamunga Batu di Luyo, sebagai titik sumbu penyeimbang peta geografis kewilayahan Mandar antara persekutuan Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga yang menurut sejarahnya di motori oleh Raja Balanipa ke dua yang digelar di Luyo. Lalu dikatakan sebagai Allamungan Batu di Luyo,
sebab pada perjanjian atau deklarasi ini, kemudian di simbolkan dalam
bentuk batu yang ditanam ke dalam tanah di Luyo. Yang kini lalu menjadi
simbol sejarah persatuan antara kedua persekutuan di Mandar.
Konon pada perjanjian tersebut juga dihadiri London Dehata alias Tomapu’ dari Pitu Ulunna Salu sedangkan dari Pitu Ba’bana Binanga
diwakili oleh Tomepayung sendiri. Perjanjian atau Ikrar Luyo sendiri
digelar pada abad ke-18 / 19 M sekaligus menjadi tonggkat diresmikannya
nama Mandar untuk perserikatan dua persekutuan tersebut.
Sedang
Sarman Sahudding (2004), juga menulis bahwa materi kesepakatan atas
ikrar atau perjanjian Loyu tersebut adalah pertama, jika anasir musuh
datang dari wilayah pegunungan atau pedalaman, maka itu dibawah
tanggung jawab Pitu Ulunna Salu sedang jika anasirnya musuh datang dari wilayah pesisiran, maka yang menjadi penanggung jawabanya adalah, Pitu Ba’bana Binanga.
Lalu yang kedua adalah, ikrar persatuan dan soliditas antara dua
persekutuan tersebut. Dan yang ketiga adalah, pernyataan senasib
sepenanggungan diantara kedua persekutuan.
Perjanjian
ini pulalah kemudian yang diklaim banyak orang sebagai perjanjian
persatuan dua buah persekutuan dan menjadi tonggak sejarah keluhuran
dan kebesaran peradaban Mandar. Cukup beralasan memang, mengingat bahwa
formalnya penyebutan Nama Mandar konon dimulai sejak adanya perjanjian
ini, yang sekaligus menandai menyatunya kedua persekutuan besar antara Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu ke dalam satu serikat konfederasi.
Bahkan
menurut Darwis Hamzah seperti dikutif DR. Edwar L. Poelinggomang, M.A.
(2004), menyebutkan bahwa sebutan lain yang tepat atas Perjanjian Luyo
ini adalah Sipamandar, yang kurang lebih berarti, saling menguatkan.
Belum lagi keyakinan yang menyebutkan bahwa perjanjian Luyo adalah Sipamandar
yang kurang lebih berarti, saling menguatkan. Belum lagi keyakinan yang
menyebutkan bahwa perjanjian Luyo ini adalah perjanjian yang
dianologikan sebagai bola mata yang mustahil dipisahkan antara warna
hitam dan warna putih.
D. Sejarah dan Zaman
Masuknya Islam di Mandar
Jauh
abad sebelum Islam dikenal di Nusantara, utamanya pada zaman kerajaan,
dimana Islam belum sempat menyentuh mereka. Mandar hampir sama persis
dengan kerajaan-kerajaan atau komonitas adat lainnya di nusantara juga
ketika mereka belum mengenal adanya agama (baca : agama resmi).
Sehingga yang dapat di cermati dari era atau zaman tersebut adalah
adanya kepercayaan yang bisah diamati pada bentuk verbal simbol-simbol
budaya.Yang kemudian dikenal sebagai religi budaya.
Yusuf
Akib (2003) menjelaskan bahwa, simbol-simbol tersebut digunakan sebagai
media untuk mengekspresikan emosi keagamaan, dengan syarat bahwa simbol
tersebut harus bisa membangkitkan perasaan dan keterikatan. Lebih dari
sekedar formulasi verbal dari benda yang dipercaya sebagai lambang.
Artinya,
diyakini bahwa masyarakat adat Mandar ketika itu hanya tunduk dan patuh
kepada kepercayaan animisme yakni, kepercayaan kepada roh yang mendiami
semua benda, seperti pohon, batu, sungai dan sebagainya, selebihnya
adalah juga tunduk dan patuh atas kepercayaan dinamisme atau;
kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai kekuatan yang dapat
mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam
mempertahankan hidup. Artinya yang berkembang pada saat itu adalah,
kepercayaan yang lalu kemudian di bahasankan sebagai religi. Yang untuk
itu dapat dilihat dalam lokalitas adat yang hingga kini masih
menyisahkan simbol-simbol budaya dan upacara-upacara ritual
kepercayaan, yang tentu diyakini dapat membangkitkan perasaan dan
keterikatan.
Di
Mandar khususnya di wilayah pedalaman atau pegunungan Pitu Ulunna Salu
telah mengenal sebuah kepercayaan sebelum Islam banyak dianut, religi
budaya yang dikenal ketika itu adalah, Adat Mappurondo yang diterjemahkan sebagai berpegang pada palsafah Pemali appa randanna. Sarman Sahudding (2004).
Sedang untuk wilayah persekutuan Pitu Ba’bana Binanga
sendiri, religi budaya hanya dapat ditemui pada peninggalannya yang
berupa ritual dan upacara-upacara adat yang tampaknya bisa dijadikan
patokan bahwa ia bersumber dari religi budaya dan kepercayaan masa
lalunya. Seperti, tradisi ritual mappasoro’ (atau melarungkan sesaji di sungai-pen). Atau mattula bala’
(menyiapkan sesaji untuk menolak musibah-pen) dan lain sebagainya yang
diyakini akan membawa manfaat kepada masyarakat yang melakukannya. Dari
sini jelas tampak betapa simbol-simbol budaya itu berangkat dari religi
budaya, yang untuk itu tidak dikenal dalam Islam.
Sementara
khusus untuk agama resmi seperti Islam misalnya, sebahagian pandangan
menyebutkan, pertama dikenal oleh masyarakat Mandar pada abad ke-16 M.
saat itu berawal dari adanya para pedagang dari wilayah seberang yang
masuk ke Mandar. Utamanya daerah yang berada dipesisiran. Konon ketika
itu Daetta Tommuane, mara’dia yang memerintah di Balanipa
didatangi oleh Abdurrahim Kamaluddin seorang pembawa siar Islam dari
Gowa yang kemudian dikenal dengan sebutan Tuanta Yusuf alias Tuanta di
Binuang sebab terakhir ia berdiam dan lalu meninggal dan dimakamkan di
Binuang Ibrahim Abbas (1999).
Menurut
sejarah Tuanta di Binuang inilah kemudian yang mula pertama
menganjurkan dan mengerjakan Islam dengan pendekatan populis, yakni di
tingkat masyarakat paling bawah (grass root). Adapun metode yang ia
gunakan adalah mendirikan pusat-pusat pengkajian dan pengajian
ke-Islam-an yang seperti pesentren. Pesantren yang paling pertama ia
bangun adalah di daerah Tanggatangga. Salah satu daerah yang berada
dibawah kendali wilayah mara’dia Balanipa. Dan di Tanggatangg itu pula
oleh Tuanta di Binuang kemudian mendirikan Mesjid yang pertama di Tanah
Mandar. Hal ini kemudian ditandai dengan simbol yang dikenal sebagai
mokking patappulo diwilayah tersebut, yang kalo diterjemahkan kurang
lebih berarti empat puluh orang santri. Sebagai santri yang mula
pertama diasuh di pesantren tersebut.
Sepeninggalan
Tuanta di Binuang inilah kemudian secara pelan namun pasti penganut
agama Islam di Balanipa Kian bertambah massif, hingga ke wilayah Allu,
Palili, Binuang dan sebahagian Banggae. Lalu masi pada abad yang sama,
di Pamboang juga didatangi oleh dua penganjur Islam dari jawa dan
bernama Raden Suryo Dilogo dan Syekh. Zakariah yang berasal dari
Maghreb di daratan Afrika Utara. Berawal dari situlah kemudian Islam
mula pertama dikenal di Pamboang yang kemudian diiukuti oleh mar’dia
Pamboang yang lalu bergelar Tomatindo Diagamana, yang kalau
diterjemahkan kurang lebih berarti orang yang meninggal ketika ia telah
menganut agamanya, yakni Islam.
Laiknya
sebuah seruan kerajaan, saat mara’dia Pamboang tersebut memeluk Islam,
maka berbondong-bondong pulalah kemudian masyarakat memeluk agama yang
dianut oleh sang mara’dia. Lalu pada abad ke-17 di Salabose Banggae
juga Mara’dia Tondo’ juga didatangi oleh Syekh Abdul Mannan yang
digelar sebagai Tosalama’ di salah seorang penganjur Islam yang kemudian diamini oleh para petinggi kerajaan di Banggae kala itu.
Namun
versi lain juga menyebutkan, bahwa sejarah masuknya Islam di Mandar,
tidaklah dapat dipisahkan dari sejarah masuknya Islam di Sulawesi. Hal
itu diperkuat oleh berita yang dilansir oleh Anthony de Paiva seorang
pedagang Portugis yang pernah berkunjung ke Sulawesi pada tahun 1543
dan menandakan bahwa saudagar-saudagar muslim sudah menginjakkan kaki
sebelumnya ditanah Mandar, dan itu terjadi sekitar akhir abad ke-15 M.
Muh. Ridwan Alimuddin (2003).
Bahkan
lebih jauh Muh. Ridwan Alimuddin menulis, sejarah masuknya Islam di
Mandar juga menuai banyak pendapat, yang antara lain, melirik lontar
Mandar yang menyebutkan, bahwa Abdurrahim Kamaluddin-lah yang mula
pertama membawa syiar Islam ke Mandar, saat ia mula pertama merapat di
bibir pantai Tammangalle. Dan Kanne Cunang atau mara’dia
Pallis-lah yang mula pertama memeluk Islam lalu diikuti oleh Raja
Balanipa ke-4; Daetta Tommuane alias Kakanna I Pattang. Pendapat ini
kemudian dinilai banyak kekurangannya. Utamanya tidak ditemukannya
keturunan Abdurrahmim Kamaluddin di Mandar.
Sedang menurut Lontar Gowa, Islam pertama kali masuk di Mandar di bawah oleh Tuanta Syekh Yusuf ( Tuanta Salamaka).
Menurut pendapat ini pada tahun 1608 seluruh daerah Mandar telah
memeluk Agama Islam. Namun tidak jelas benar apakah yang di maksud
Tuanta Syekh Yusuf ini juga adalah Syekh Abdul Mannan yang membawa siar
Islam di Banggae yang pertama kali diamini oleh Tomatindo di Masigi
sekitar tahun 1608 atau bukan. Sampai disini disebutkan pula, bahwa
yang pertama memeluk agama Islam di Banggae adalah Sukkilan yang
kuburannya dapat ditemukan di Mesjid Raya Majene kini.
Sedang
versi lainnya juga menyebutkan, bahwa untuk menapak jejak langkah
pertama siar Islam di Mandar juga dapat menilik surat yang dari Mekkah
Pada I Muharram 1402 H. yang kalo ditukil, didalamnya menyebutkan
tentang, kehadiran seorang Assayyid Al Adiy dan bergelar Guru Ga’de
yang berasal dari keturunan Malik Ibrahim. Surat ini diperkuat dengan
kuburannya yang hingga kini juga masih dapat dikunjungi di Desa
Lambanan. Dan hingga kini masyarakat masih juga ramai mengunjungi
kuburan yang dianggap keramat tersebut. Belum lagi, sampai saat ini
silsilah keturunan Guru Ga’de yang juga masih berlanjut, seperti dikenalnya nama H. Muhammad Nuh yang tidak lain adalah cucu dari Guru Ga’de
yang pada abad ke-18 merupakan orang yang pertama yang memperkenalkan
pola pendidikan pesantren di Desa Pambusuang dan Campalagian.
Sementara
itu, penyebaran Islam di Mamuju, Sendana, Pamboang dan Tappalang mula
pertama diperkenalkan oleh Sayyid Zakaria dan Kapuang Jawa alias Raden
Mas Suryo Adilogo yang tidak lain adalah murid dari Sunan Bonang yang
datang dari Kalimantan menyebarkan siar Islam, lalu lanjut ke pulau
Sulawesi dan menetap pertama kali di Mamuju.
Belum lagi banyaknya pemakaman Tosalama’
lainnya di tanah Mandar, yang juga sekaligus dapat membuktikan betapa
membuminya Islam di tanah Mandar. Salah satu yang masih ramai
dikunjungi oleh banyak orang adalah, di Pulau Tosalama’ di
Kecamatan Binuang Kabupaten polewali Mandar. Dimana ditempat tersebut
dan berada di atas puncak ketinggian dikebumikan Syekh Bil Ma’ruf yang
juga diyakini adalah salah seorang menganjur Islam di tanah Mandar.
Ditempat itu pula, tepat dipintu masuk makam jelas terbaca monument ordinantie nomor 238 tahun 1931 yang diperkirakan menyebarkan Islam di Mandar sekitar Abad ke-16 M..
Lantas bagaimana dengan Islam di wilayah Pitu Ulunna Salu. Baik dicoba pula dibongkar sedikit memori sejarah peradaban perkembangan Islam di daerah tersebut. Seperti yang ditulis oleh Ibrahim Abbas (1999), yang menyebutkan, bahwa memahami sejarah awal mula Islam dikenal di Pitu Ulunna Salu terjadi sekitar abad ke-17 dan ke-18 yang ditandai dengan kehadiran Tuanta di Bulobulo di daerah tersebut dan membuat Indo Kadanene' atau yang bergelar Todilamung Sallang (dimakamkan dalam keadaan beragama Islam-pen). Yang lalu susul menyusul diikuti oleh raja-raja di persekutuan Pitu Ulunna Salu tersebut, seperti Indo Lembang, Tomakaka' Mambi, Tomakaka' Matangga. Kecuali Tabang, Tabulahan dan Bambang hampir semua kerajaan-kerajaan di persekutuan Pitu Ulunna Salu mengikuti dan memeluk agama Islam.
Sedang Sarman Sahudding (2004) menulis, Islam pertama kali datang dibawa oleh para pedagang dari wilayah pesisiran pantai, seperti Haji Cendrana, Haji Tapalang, Haji Pure dan Daeng Pasore dan itu terjadi sekitar akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18. Daerah yang pertama didatangi oleh pedagang tadi untuk menyebarkan Islam tersebut adalah Lembang Matangga atau daerah Posi' melalui daerah Mapi dan Tu'bi. Hal lain yang juga dapat dijadikan titik tumpu penelusuran sejarah peradaban Islam di Pitu Ulunna Salu adalah melalui ditemukannya kuburan tua di daerah Matangga yang oleh masyarakat setempat diyakini sebagai kuburan tempat dikebumikannya To Salama' atau sang pembawa Islam pertama kali ke daerah mi. Konon sebelumnya pernah datang dua orang yang tak dikenal sebagai pembawa Islam pertama.
Namun yang satunya kembali, sedang yang satunya lagi tinggal dan lalu meninggal di daerah Lembang Matangga, hingga akhirnya dikebumikan di tempat tersebut. Dari kuburan tempat dikebumikannya itulah kemudian, lalu dianggap keramat oleh peduduk sekitar yang hingga kini diyakini adalah kuburan Wall sang pembawa dan penyebar Islam di wilayah Pitu Ulunna Salu. Sedang daerah kedua tempat penyebaran Islam di wilayah persekutuan ini adalah di daerah Talipukki. Sebagai Bahagian dari Lembang Mambi, di daerah ini juga ditemukan kuburan yang sama, juga diyakini sebagai pekuburan To Salama' yang dipercaya pertama kali membawa Islam ke Daerah Talipukki. Demikian pula halnya dengan daerah Lembang Aralle, dimana dari daerah ini didapatkan pembuktian adanya Daeng. Mappali yang tak lain adalah cucu dari Kada Nene'. Yang lalu dipercaya sebagai orang yang pertama memeluk Islam. Hal itu terbukti dengan gelar yang disandangkan atasnya yakni, TodilamungSallang(yang dikebumikan dalam keadaan muslim-pen). Sedang di Lembang Rentebulahan, juga dikenal seorang nama Tomesokko' Sallang (yang berkopiah muslim-pen) yang tak lain adalah cucu dari salah seorang cucu Indo Lembang di Rantebulan.
E. Dialek dan Gaya Bahasa Orang Mandar
Seperti
suku-suku atau etnis lainnya yang ada pada suatu bangsa termasuk yang
ada di Indonesia, dipahami bahwa bahasa merupakan identitas yang
menunjukkan suatu bangsa, etnis atau suku tersebut. Tak pelak Mandar
sebagai sebuah etnis atau bahkan yang lebih besar dari itu, sebuah suku
bangsa juga berlaku hal yang serupa. Artinya Mandar juga dapat dipahami
dan dimengerti bahkan dikenal melalui bahasanya.
Konon
masih sama dengan etnis lainnya di Indonesia, bahasa Mandar juga
berasal dari rumpun bahasa Malayu Polinesia atau bahasa Nusantara atau
yang lebih acap disebut sebagai bahasa ibunya orang Indonesia. Oleh
Esser (1938) disebutkan, seperti yag dikutip Abdul Muttalib dkk (1992),
bahwa mandfarsche dialecten yang awal penggunaannya berangkat dari
daerah Binuang bagian utara Polewali hingga wilayah Mamuju Utara daerah Karossa.
Walau hingga kini tidak jelas benar sejak kapan penggunaan bahasa Mandar dalam keseharian orang Mandar. Namun dapat diduga, bahwa penggunaan bahasa Mandar sendiri
bersamaan lahirnya orang atau manusia pertama yang ada di tanah Mandar.
Hal yang lalu dapat dijadikan rujukan adalah adanya bahasa Mandar yang
telah digunakan dalam lontar Mandar sekitar abad ke-15 M. Ibrahim Abas
(1999).
Sehingga
kuat dugaan bahwa bahasa yang digunakan sistem pemerintahan dan
kemasyarakatan masa lalu di daerah Mandar telah menggunakan bahasa
Mandar, yang untuk itu dapat dicermati dalam beberapa lontar yang
terbit pada masa-masa pemerintahan kerajaan Mandar.
Sedang
menilik area penyebaran bahasa Mandar sendiri, hingga kini masih dengan
mudah bisa di temui penggunaannya di beberapa daerah di Mandar seperti,
Polmas, Mamasa, Majene, Mamuju dan Mamuju Utara. Kendati demikian di
beberapa tempat atau daerah di Mandar juga telah menggunakan bahasa
lain, seperti untuk Polmas di daerah Polewali juga dapat ditemui
penggunaan bahasa Bugis, sebagai bahasa Ibu dari etnis Bugis yang
berdiam dan telah menjadi to Mandar (orang Mandar-pen) di wilayah
Mandar. Begitu pula di Mamasa, menggunakan bahasa Mamasa, sebagai
bahasa mereka yang memang di dalamnya banyak ditemui perbedaannya
dengan bahasa Mandar. Sementara di daerah Wonomulyo, juga dapat difemui
banyak masyarakat yang menggunakan bahasa Jawa, utamanya etnis Jawa
yang tinggal dan juga telah menjadi to Mandar di daerah tersebut.
Kecuali di beberapa tempat di Mandar, seperti Mamasa. Selain daerah
Mandar-atau kini wilayah Provinsi Sulawesi Barat-tersebut, bahasa
Mandar juga dapat ditemukan penggunaannya di komunitas masyarakat di
daerah Ujung Lero Kabupaten Pinrang dan daerah Tuppa Biring Kabupaten
Pangkep.
Selain
itu, juga ada kecenderungan yang sama dengan bahasa lain di luar bahasa
Mandar yang mengikuti para pendukung bahasa Mandar dimanapun ia berada.
Sehingga bahasa Mandar jika dilihat dari persebarannya juga banyak kita
temuui di beberapa daerah dimana orang dari suku bangsa Mandar berada.
Katakanlah seperti, di Kalimantan, Nusa Tenggara, beberapa dearah Palu
Sulawesi Tengah, Bali, Madura dan beberapa tempat lainnya dimana disitu
berdiam komunitas dari suku bangsa Mandar.
Kendati
demikian, tidak lantas menjadi hambatan dalam proses komunikasi
masyarakat Mandar, sebab proses penyatuan dan peleburan dalam
komunikasi telah terjadi pembauran bahasa yang relatif sudah cukup cair
utamanya di daerah Mandar sendiri. Jika menilik dialek bahasa Mandar,
maka dapat diklasifikasikan kedalam pembahagian beberapa dialek
seperti, dialek Balanipa di Kabupaten Polmas yang berpusat di Tinambung
dengan varian-varian seperti Lapeo, Pambusuang, Karama, Napo, Tandung,
Todangtodang.
Sedang
dialek lainnya adalah dialek Pamboang yang terdapat di Kecamatan
Pamboang Kabupaten Majene yang variannya adalah, Luwaor, Bababulo,
Adolang dan Tinambung Galunggalung. Sementara dialek Sendana juga di
kabupaten Majene, digunakan di kecamatan Sendana dan daerah pesisir
Kecamatan Malunda dengan variannya Mosso, Somba, Palipi, Pelattoang,
Tammero'do. Dan daerah lainnya di Malunda juga dikenal dialek Ulu
Manda' yang juga berbatasan dengan daerah pedalaman Pitu Ulunna Salu di
daerah gunung. Selain itu j uga dikenal adanya dialek Awo' Sumakuyu
yang dapat ditemui penggunaannya di Desa Onang dan perbatasan Malunda
dengan varian, Desa Tubo yang diduga juga adalah termasuk dialek
Ulumanda' atau dialek Mambi Mehalaan. Kendati terdapat beberapa dialek
clan penggunaan bahasa lain di daerah Mandar, tetapi pada umumnya dapat
memahami dialel: Balanipa. Hal ini disebabkan peran dialek Balanipa
pada zaman kerajaanlah yang banyak mendominasi dalam berkomunikasi.
Utamanya pada saat gelar pertemuan antar beberapa kerajaan, dimana
kerajaan Balanipa diposisikan sebagai ayah dalam peta kerajaan-kerajaan
di Mandar. Praktis membuat penggunaan dialeknya menjadi dominan pula.
Abdul Muttalib, dkk (1992).
Selanjutnya
jika dilihat dari tingkat kesamaan dialek, maka dalam bahasa Mandar
dapat disebutkan, bahwa kesamaan dialek Balanipa dan Sendana sebanyak
184 buah kata, Balanipa dan Pamboang 190 buah, Balanipa dengan Majene
196 buah. Dan dialek Majene dan Sendana 182 buah, Majene dengan
Pamboang 189, sedangkan Pamboang dan Sendana sebanyak 185 kesamaan.
Artinya tingkat kesamaan rata-rata sekitar 90 % sedangkan perbedaannya
berada dibawah 10 %.
Sedang
menurut Ibrahim Abbas (1999),- bahwa setiap kelompok masyarakat di
Mandar memiliki dialek tersendiri, namun yang paling menonjol perbedaan
dialek, bahkan sampai pada bentuk pengucapan verbalnya dapat dilihat
pada, dialek Mamasa, Campalagian, Balanipa, Pamboang, Malunda dan
Kalumpang.
Masih
menurutnya, dari segi penggunaan dan penggolongannya, maka bahasa
Mandar membedakan tiga jenis bahasa yaitu, bahasa Hadat(bahasa golongan
bangsawan) adalah bahasa yang dipakai dalam berkomunikasi antara sesama
golongan bangsa wan, bahasa Samar (bahasa golongan menengah) adalah
bahasa yang dipakai dikalangan umum masyarakat. Namun masih terasa
adanya penghormatan -dari orang muda terhadap orang yang lebih tua.
Dan yang terakhir bahasa Adae (bahasa buruk atau pasaran yang digunakan
golongan bawah) adalah bahasa yang kurang bahkan tidak mengikuti aturan
dan etika ketata bahasaan Mandar, yang penting mudah dipahami dan dapat
digunakan dalam berkomunikasi.
Hal
berikutnya yang juga dikenal dalam bahasa Mandar adalah, teknik
berbicara dan makna pembicaraan, yang untuk itu dengan mudah dapat
dicermati dalam keseharian yang berbentuk, bahasa resmi, bahasa akrab
dan bahasa kiasan. Selain gaya bahasa seperti tersebut diatas orang
Mandar mengenal pula adanya bahasa tomawuweng (bahasa orang tua-tua),
bahasa topanrita (bahasa ulama), bahasa dukun atau yang dikenal dengan
bahasa sando di Mandar.
Sampai
disini, jelas tergambar, bahwa selain bahasa Mandar menjadi alat
pemersatu dan komunikasi antar orang Mandar, juga dapat dengan mudah
menjadi penanda yang digunakan dalam mengamati orang Mandar, utamanya
dari dialeknya yang dapat menunjukkan dari komunitas lokal mana orang
Mandar tersebut berada. Selain itu, lebih jauh bahasa Mandar juga dapat
menjadi simbol penanda dari kelas sosial mana orang tersebut berada.
Hingga sampai kepada penanda untuk mengamati profesi orang yang
menggunakan, dilihat dari gaya pengucapannya.
Walau
kini dalam realitas kesehariannya sudah agak susah untuk membedakannya.
Namun yang pasti realitas kebahasaan tersebut, paling tidak, pernah
dikenal di Mandar. Sekaligus menunjukkan betapa kayanya bahasa Mandar,
utamanya menilik makna dan hakikat intrinsik yang lebih dalam dari
sekedar yang tampak atau terdengar verbal dalam bahasa Mandar.
F. Bentuk Rumah dan Maknanya
Jamak
dipahami bahwa salah satu fungsi rumah adalah tempat berteduh dan
berlindung. Tetapi tentu tidak sampai disitu, sebab rumah selain fungsi
tersebut, rumah juga dapat memberi ciri kepada penghuninya. Sekaligus
dapat membedakan tingkat dan strata sosial pemiliknya dalam masyarakat.
Di Mandar hal yang serupa juga demikian adanya, Dimana disamping ia
memperhatikan estetika (keindahan-pen), fungsi dan kegunaan serta
posisi-posisi, pembagian ruangan atau yang lebih dikenal semacam feng
shui, di dalam rumah dan lain sebagainya. Yang kesemuanya itu adalah
merupakan suatu kebiasaan yang telah turun temurung dilakukan oleh
masyarakat. Namun hal yang paling mencolok dapat di amati dari rumah
Mandar selain berbentuk rumah panggung, seperti kebanyakan khas
rumahrumah etnis Sulawesi, ia juga memperhatikan beberapa syarat dalam
proses pendiriannya.
Dalam
membuat rumah ini mereka memperhatikan syarat-syarat seperti yang
ditulis Ibrahim Abbas (1999), yang menyebutkan bahwa syarat-syarat
tersebut adalah seperti, syarat ekonomi yaitu, memakai biaya yang
serendah-rendahnya dan memanfaatkan alam sekitar. Sehingga rata-rata
rumah yang ada di Mandar terbuat dari kayu yang tentu jenisnya
bergantung kepada kemampuan pemilik rumah. Syarat yang kedua adalah,
syarat teknis, yaitu menggunakan ukuran dan perbandingan yang sesuai.
Misalnya ruang rumah lebih tinggi daripada kolong rumah, ruas tengah
rumah lebih panjang dari pada ruas muka dan ruas muka lebih panjang
daripada ruas belakang, tinggi tiang bubungan ada yang pakai ukuran
puang atau bangsawan atau sukaq tang-nya (tinggi tiang bubungan
seperdua daripada panjang balok kuda-kuda), yaitu ukuran bagi orang
todiang laiyana (bangsawan), untuk orang tau pia biasa (orang terhormat
biasa) ukuran tersebut dikurangi sedikit, dan bagi tau samar atau orang
kebanyakan, menggunakan suka' ukuran tallu. Tinggi tiang bubungan itu
sepertiga dari panjang bae' atau kudakuda. Tiang-tiang dilubang dan
dihubung-hubungkan dengan balok secara melintang dan membujur dan di
perkuat pula dengan passasil (pasak) dan panjoli (paku dari kayu)
Syarat berikutnya adalah syarat kesehatan yaitu, menggunakan jendela
yang berbentuk persegi empat agar cahaya dapat masuk kedalam rumah dan
petukaran udara lancar. Ukuran luas rumah bervariasi antara 5 x 7 cm
dan 7 x 9 m.
Diamati
dari bentuk ruang dan fungsinya rumah Mandar dapat dibagi atas beberapa
ruang dan fungsi sebagai berikut; naung boyang (kolom rumah), ruang
yang berada dibawah ini lazimnya digunakan sebagai arena untuk menenun
lipa sa’be Mandar (sarung sutra Mandar-pen), menyimpang kayu bakar,
alat-alat kerja dan lain-lain ruang berikutnya adalah ruangan diatas
rumah yang untuk mencapainnya menggunakan ende atau tangga yang terbuat
dengan kayu, ruang boyang atau ruangan rumah bagian atas terdiri dari
tallullottang (tiga petak) yang dibagi-bagi menurut kebutuhan. Petak
pertama samboyang sebagai ruang tamu, petak kedua tangnga boyang
sebagai ruang keluarga, peta tiga adalah ruang belakang yang kerap
dijadikan, sebagai songsi atau kamar tidur baik untuk orang tua maupun
anak-anak serta keluarga lainnya. Sedang dapur biasanya menjadi
bahagian tersendiri dari ruang dan mutlak selalu berada di belakang.
Sedang
ruang berikutnya adalah, tapang (loteng), ruangan ini terletak diatas
ruang tengah yang berfungsi sebagai tempat tidur anak gadis dan tempat
menyimpan barang-barang berharga yang tidak digunakan sehari-hari pada
waktu ada selamatan, kenduri atau acara perkawinan, dijadikan tempat
mengatur lauk-pauk yang akan dihidangkan kepada para tamu untuk
mencapainya mesti melalui ende atau tangga ke atas (ibid).
G. Mandar Dalam Peta
Jika
Mandar ditilik ke dalam peta, maka ia terletak pada posisi antara 118 °
dan 119° BT serta antara 10 dan 30 LS. Artinya, Mandar terletak dari
arah selatan ke utara di pesisir barat Pulau Sulawesi, yaitu antara
Binanga Karaeng di bagian Selatan dan Suremana di sebelah Utara, dengan
batas-batas sebagai berikut di sebelah berbatasan dengan Kabupaten
Pinrang dan Kabupaten Tator, di timur berbatasan dengan Kabupaten Tator
dan Kabopaten Luwu, di Utara berbatasan dengan Propensi Sulawesi
Tengah, dan di barat berbatasan dengan Selat Makassar.
Sementara
Drs. Muis Mandra (2004) menulis jika bertumpu pada deklarasi
Assitaliang Luyo yang ditandai dengan Allanarcngan Batu maka dapat
dijelaskan, bahwa wilayah Mandar dimulai dari arah utara Mandar yang
berbatasan dengan Lalombi yang kini masuk ke wilayah Sulawesi Tengah.
Sedangkan Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Poso, Kabupaten
Luwu dan Kabupaten Tanah Toraja, utamanya
di daerah dan wilayah pegunungan. Dan sebelah selatan Mandar berbatasan
dengan Binanga Karaeng yang terletak disekitar wilayah Kabupaten
Pinrang. Sedang sebelah barat berbatasan dengan Selat Makassar.
Selanjutnya
sebagai sebuah daerah, yang di dalamnya terdiri dari banyak komunitas
etnis, seperti, Bugis, Makassar, Bali, Jawa, China dan lain sebagainya.
Ditambah beragamnya profesi dan kegiatan keseharian masyarakatnya,
kontan membuat tingginya dinamika kehidupan penduduk, baik yang masuk
maupun keluar dan berdiam di daerah Mandar tersebut. Menurut UU NO. 23
Tahun 1959, daerah Mandar di bagi menjadi tiga kabupaten, yaitu
Polewali Mamasa, Majene dan Mamuju yang jika di petakan adalah sebagai
berikut ; Pertama, Kabupaten Polewali Mamasa (Polmas) secara geografis
terletak antara 12° 5'- 12° 50 BT dan 2° 40 - 33° 32' LS dengan luas
wilayah 4781,53 km'. panjang pantai yang menelusuri wilayah kabupaten
Polmas mulai dari Paku sampai Tandung diperkirakan sekitar 70 km. Yang
kedua, Kabupaten majene terletak di sebelah utara bagian barat Jazirah
Sulawesi Selatan atau pesisir utara Teluk Mandar, dengan letak
geografis antara 2° 38'45" - 3" 04'15" LS dan antara 118° 45 00 - 119°
- 0445" BT dengan luas wilayah 947,85 km-' dan panjang pantai sekitar
85 km. Dan yang ketiga, Kabupaten Mamuju.
Secara
geografis terletak di bagian utara dari propensi Sulawesi Selatan
tepatnya pada posisi geografis O° 52' 00" - 2° 54 52 LS dan 118° 43 15"
- 119° 56'o3" BT. Luas Kabupaten Mamuju ialah 1.105.781 ha dan panjang
pantai sekitar 435 km.
Lalu
pada perjalanannya kemudian, setelah terjadi kebijakan pemerintah yang
berupa otonomi daerah, yang salah satu biasnya adalah mendorong
beberapa pemekaran wilayah. Terlebih wilayah Mandar lalu kemudian
berubah pula dan menjadi Provinsi Sulbar dengan luas wilayah sebagai
berikut ; Polmas, terletak di sebelah utara Kota Makassar. Memiliki
luas wilayah 2.022,30 km2 berbatasan dengan sebelah utara
Kabupaten Mamasa, sebelah selatan Selat Makassar, sebelah Timur
Kabupaten Pinrang, dan sebelah barat Kabupaten Majene. Secara
administrative, pemerintahan di akbupaten polmas terdiri atas 15
kecamatan, 26 kelurahan dan 108 Desa.
Sedangkan Kabupaten Majene yang beribukota di Majene berada sekitar +
302 km dari kota Makassar, terletak di pesisir pantai barat Sulawesi
selatan dengan batasan wilayah; sebelah utara dengan kabupaten Mamuj u,
sebelah timur dengan Kabupaten Polmas, sebelah selatan dengan Teluk
Mandar dan sebelah barat dengan Teluk Makassar. Memiliki luas wilayah
sebesar 947,84 km. Secara administratf pemerintahan di kabupaten Majene
terdiri atas 4 (empat)
Kecamatan, 14 Kelurahan dan 21 Desa. Berikutnya Mamuju dengan ibukota
Mamuju terletak ± 44s km dari kota Makassar, berbatasan dengan
Kabupaten Majene, Kabupaten Polmas, Kabupaten Tanah Toraja, Kabupaten
Luwu dan Luwu Utara, Kabupaten Mamuju Utara dan sebelah barat dengan
Selat Makassar dan Kalimantan Timur. Luas Wiayah mencapai 11. 033,18
ha, dan secara administratif terdiri atas 15 Kecamatan, 119 Desa dan 8
Kelurahan.
Untuk
Kabupaten Mamasa dengan ibu kota Mamasa, memiliki luas wilayah 2.759,23
km' atau 275.932 Ha, dengan batas-batas; Sebelah utara Kabupaten
Mamuju, sebelah Timur Kabupaten Tanah Toraja dan Pinrang, sebelah
selatan Kabupaten Polmas, sebelah barat Kabupaten Polmas dan Majene.
Secara administratif, pemerintahan Kabupaten Mamasa terdiri dari 10
Kecamatan, 120 Desa dan 12 Kelurahan. Terakhir wilayah Mamuju Utara
merupakan segi tiga emas yang menghubungkan antara Provinsi Sulawesi
Selatan, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tengah. Memiliki luas wilayah
3.043,75 km, dengan batas-batas; Sebelah utara Sulawesi Tengah, sebelah
Timur Sulawesi Tengah, sebelah selatan Kabupaten Mamuju, sebelah barat
Selat Makassar. Sacara administratif, pemerintahan Kabupaten Mamuju
Utara terdiri atas 4 Kecamatan dan 33 Desa.