Kamis, 24 November 2011

Raja Mandar

Sebagai contoh dapat ditampilkan pengertian Mandar. Dalam makalah dari H. Mochtar Husein (1984) diungkapkan bahwa kata Mandar memiliki tiga arti : (1) Mandar berasal dari konsep Sipamandar yang berarti saling kuat menguatkan; penyebutan itu dalam pengembangan berubah penyebutannya menjadi Mandar; (2) kata Mandar dalam penuturan orang Balanipa berarti sungai, dan (3) Mandar berasal dari Bahasa Arab; Nadara-Yanduru-Nadra yang dalam perkembangan kemudian terjadi perubahan artikulasi menjadi Mandar yang berarti tempat yang jarang penduduknya. Penulis makala ini, setelah mengajukan berbagai pertimbangan penetapan pilihan pada butir kedua, yaitu “mandar” yang berarti “sungai” dalam penuturan penduduk Balanipa. Tampaknya menyebutan itu tidak berpengaruh terhadap penamaan sungai sehingga sungai yang terdapat de daerah itu sendiri disebut Sungai Balangnipa. Selain itu masih terdapat sejumlah sungai lain di daerah Pitu Babana Binanga (PBB), yaitu sungai: Campalagiang, Karama, Lumu, Buding-Buding, dan Lariang.
Selain itu, dalam buku dari H. Saharuddin, dijumpai keterangan tentang asal kata Mandar yang berbeda. Menurut penulisnya, berdasarkan keterangan dari A. Saiful Sinrang, kata Mandar berasal dari kata mandar yang berarti “Cahaya”; sementara menurut Darwis Hamzah berasal dari kata mandag yang berarti “Kuat”; selain itu ada pula yang berpendapat bahwa penyebutan itu diambil berdasarkan nama Sungai Mandar yang bermuara di pusat bekas Kerajaan Balanipa (Saharuddin, 1985:3). Sungai itu kini lebih dikenal dengan nama Sungai Balangnipa. Namun demikian tampak penulisnya menyatakan dengan jelas bahwa hal itu hanya diperkirakan (digunakan kata mungkin). Hal ini tentu mengarahkan perhatian kita pada adanya penyebutan Teluk Mandar dimana bermuara Sungai Balangnipa, sehingga diperkirakan kemungkinan dahulunya dikenal dengan penyebutan Sungai Mandar.
RAJA MANDAR
Gambaran tentang nama Mandar ini cukup membingungkan, apabila direnungkan tanpa referensi. Karena itu dapat memberikan kecerahan menyangkut penamaan itu, saya ingin mengajak untuk berpaling pada latar kesejarahan. Saya berharap dengan mencoba menelusuri Keterangan-keterangan Kesejahteraan, kita dapat mengambil kesimpulan yang beralasan tentang penamaan itu.
Latar Kesejarahan
Dalam salah satu naskah lokal (lontara) di Mandar ditemukan keterangan yang menyatakan bahwa manusia pertama yang datang ke daerah ini mendarat di hulu Sungai Sadang. Sementara dalam tulisan dari Salahuddin Mahmud (1984) dinyatakan bahwa Tomakaka yang pertama menetap di Ulu‘ Sadang. Keterangan itu memberikan petunjuk bahwa pemukiman di daerah ini telah berlangsung jauh sebelum terjadi penurunan permukaan laut (masa glasial). Selain itu juga dapat dipahami bahwa penghuni daerah ini adalah Kelompok Migran yang datang dari daerah lain, diperkirakan dari daerah Cina Selatan, yang kemudian menetap dan membangun persekutuan masyarakat. Juga dapat berarti bahwa penduduk daerah pesisiran maupun daerah pedalaman bercikal bakal pada keturunan yang sama, yang oleh berbagai alasan, pertambahan penduduk , bencana alam, wabah penyakit atau karena persoalan adat dan sistem kekuasaan, berpindah dan membangun pemukiman baru.
Dalam tradisi lokal masyarakat Sulawesi Selatan diperoleh keterangan yang cukup memikat tentang persebaran pemukiman. Kisah kerajaan mitis di Rura yang bersifat teokratis, terjadinya persebaran penduduk ke berbagai penjuru daerah itu disebabkan karena raja Rura, Londong di Rura yang bergelar Sappang ri Galete berkehendak melakukan perkawinan antara anak-anak sendiri, yang laki-laki di kawinkan dengan yang puteri (insest), suata rencana yang dilarang para dewata. Menurut tradisi jika terjadi insest maka pasti dewata yang mendatangkan mala petaka yang besar, sehingga sebulum upacara pernikahan dilakukan para keluarga kerajaan dan rakyat yang tidak menyetujuinya tidak berangkat meninggalkan negerinya (Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan, 1991). Tampak hal yang senada juga dijumpai dalam kisah Sawerigading yang berkeinginan untuk mempersunting saudara kembarnya, We Tenriabeng. Meskipun kisahnya mengarah pada pengembaraannya ke Cina untuk mempersunting sepupunya di Cina, We Cudai, namun karena ingin kembali ke Luwu, maka akhirnya ia ditarik ke paratiwi (ke bawa bumi) dan saudara kembarnya dimarairatkan ke dunia atas (boting langi). Tampaknya kisah-kisah ini mendasari aturan adat bagi penghukuman pelaku insest untuk didaerah dan ditenggelamkan ke air dalam, di danau atau di laut.
Akibat lain dari perbuatan insest adalah bencana dalam kehidupan masyarakat yang digambarkan bagaikan kehidupan yang kaos. Yang kuat memangsai yang lemah sehingga terjadi terus menerus perang tanding antar satu persekutuan dengan persekutuan lainnya. Dalam Masyarakat Sulawesi Selatan, kondisi itu diungkapkan dengan pernyataan bahwa kehidupan manusia sama seperti kehidupan ikan dilaut yang saling memangsai. Hal itu yang mendorong masyarakat senangtiasa bermohon kepada dewata kiranya dapat menemukan tokoh yang dapat menciptakan ketenteraman dan kedamaian. Hal itu terpenuhi dengan ditampilkan konsep Tumanurung, yang ditempatlkan menjadi tokoh pemersatu yang berhasil memulihkan kehidupan masyarakat, dan membangun tatanan pemerintahan yang terorganisir dalam bentuk monarkhi namun raja tidak memiliki kekuasaan mutlak karena dibentuk pula dewan hadat yang berfungsi legislatif dalam mengontrol kewenangan pemegang kendali politik.
Gambaran proses politik dengan konsep Tumanurung ini memiliki corak yang berbeda dengan pengkisahan sejarah dengan Mandar. Tumanurung lebih tampak sebagai tokoh pemula pemukiman yang kemudian tersebar ke berbagai daerah, yang pada prinsipnya untuk menunjukan bahwa penduduk Sulawesi Selatan, bahkan hingga Sulawesi tengah memiliki latar kesejarahan yang sama dan bersaudara. Dalam kisah Sejarah Sendawa, berdasarkan tradisi lisan, manusia pertama (Tumanurung) yang datang di Tanetena adalah tujuan orang Tumanurung yang kemudian masing-masing mengembara ke kaili, luwu, toraja, Bone, Cina, Sendana, dan yang satunya tidak diketahui ke mana perginya karena masing-masing memiliki semangat kepemimpinan. (Ahmad Sahur 1984). Kisah pengembaraan yang sama pula dalam ceritra rakyat di Enrekang, sehubungan dengan kerajaan Rura, dan kisah dalam satra I Galigo.
Sementara penyelesaian proses kehidupan masyarakat yang kaos itu terkisah dengan tampilnya I Manyambungi (Tamanyambungngi) yang dikenal juga dengan nama Todilaling. Ia adalah putera dari Tomakaka Napo, Pong ri Gadang. Ia mengembara dan diketahui pernah menjadi salah seorang pemimpin pemberani (Tobarani) Kerajaan Makassar (Gowa-Tallo) pada periode Tumaparissi Kalonna (1510-1546). Pada waktu menjadi pertentang di negerinya. Ia dipanggil pulang untuk membantu penyelesaian persoalan yang terjadi. Keberhasilan menyelesaikan perselisihan yang terjadi itu, menyebabkan ia dipilih dan diangkat menjadi pemegang kendali kekuasaan atas persekutuan itu dibentuk dari: Napo. Mosso, Todatodang, dan Samasundu. Pusat pemerintahan dinapo, satu wilayah yang sejak lama dikenal menjadi bandar niaga di daerah ini. Persekutuan ini menjadi dasar kerajaan Balanipa, sehingga dia dikenal sebagai raja Balanipa I. proses pemelihan dan pengangkatannya ini di pandang sebagai dasar bagi pembentukan kesatuan pemerintahan yang dikategorikan dengan kerajaan.
Keberhasilan dalam memulihkan dan menentramkan masyarakat dengan konsep menyatukan kelompok-kelompok Tomakaka, itu dilanjutkan pula oleh penerus pemegang kendali kekuasaan di kerajaan itu. Tomepayung, yang dinobatkan menggantikan I Manyambungi, tercatat berhasil mendamaikan dan menggabungkan lagi tiga Tomakaka, yaitu: Boroboro, Banato, dan Andau (baca: Ahmad Sahur, 1984: 89-93; Saharuddin, 1985: 35-40). Ia juga memprakarsai Muktamar Tamenjarra yang menghasilkan persekutuan pitu Babana Binanga (PBB). Pada dasarnya pembentukan wadah ini merupakan wadah persekutuan Kerajaan-Kerajaan (bondgenootshappijke landen) dengan menempatkan Kerajaan Balanipa sebagai pemimpin persekutuan itu dengan status sebagai “ayah” dan Kerajaan Sendana berstatus “ibu” dan Kerajaan lainnya sebagai anggota dengan status “anak”.
Dalam perkembangan kemudian, ia juga bergiat menjalin persekutuan dengan Kerajaan-Kerajaan kecil di daerah pedalaman yang telah membentuk persekutuan Pitu Ulunna Salu (PUS) yang terdiri dari kerajaan: Rantebulahan, Aralle, Mambi, Bambang, Matangnga, Messawa, dan Tabulahan. Permusyarawatan yang diselenggarakan di Luyo Tabasalah itu menghasilkan perjanjian Luyo (Allamungan Batu di Luyo). Isi pokok perjanjian itu adalah kesepakatan bersama untuk menjamin ketentraman kerajaan-kerajaan persekutuan. Itulah sebabnya pengaturannya adalah PUS mengemban kewajiban menangkal musuh yang datang dari arah pedalaman sementara PBB menangkal musuh yang datang dari arah laut. Persekutuan itu di ibaratkan bagaikan sebuah pupil mata yang terpadu warna hitam dan putih, paduan yang memungsikan mata. Menurut Darwis Hamzah, Perjanjian Luyo ini yang dikenal dengan istilah ‘Sipamandar‘ yang berarti saling kuat menguatkan (Saharuddin, 1985: 41).
Latar Kesejarahan ini yang mendasari penyebutan dalam penataan pemerintahan di daerah ini setelah pihak pemerintah Hindia Balanda berhasil memaksakan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan menandatangani pernyataan pendek (Korte Verklaring)4 dengan menyebut wilayah PUS sebagai negeri-negeri pedalaman dari Balanipa (bovenlanden van Balanipa) dan Polewali dan Kerajaan Binuang sebagai negeri pesisir dari Balanipa (beneden landen van Balanipa)5 Dalam penamaan wilayah di daerah ini tampak pemerintah Hindia Balanda mengalami kesulitan untuk menyebut berdasarkan nama daerah mengingat pembentukan wilayah itu terdiri dari beberapa kerajaan yang menjadi satu federasi ataupun berbentuk konfederasi. Oleh karena itu pusat pemerintahan dijadikan patokan penamaan wilayah itu. Sebagai contoh, wilayah PUS yang berpusat di Mamasa (Wilayah Tabulahan) menjadi nama wilayah PUS; sementara Balanipa dan Binuang yang berpusat di Polewali disebut saja Polewali.
Pada periode pemerintahan Hindia Belanda ini, yang secara de yure dan de faktor setelah penandatanganan Pernyataan Pendek itu pada permulaan abad ke-20 itu, seluruh wilayah yang tergabung dalam PBB dan PUS disebut afdeeling Mandar, dengan pusat pemerintahan di Majene. Wilayah afdeeling ini terbagi dalam empat onderafdeeling, yaitu onderafdeeling: Majene, Mamuju, Polewali dan Mamasa. (Staatblad 1924 No. 476 dan Staatblad 1940 No. 21). Penamaan itu memberikan petunjuk bahwa nama Mandar telah mencakup wilayah pemukiman rakyat dari pesekutuan PBB dan PUS, dan telah menjadi konsep perwilayahan yang luas. Penamaan wilayah itu kemudian menampilkan nama itu sebagai mengejawantakan diri kelompok penduduk penghini wilayah iti, sehingga umum dijadikan salah satu etnis di Sulawesi Selatan, untuk membedakannya dari kelompok Makassar dan Bugis.
Sesungguhnya, berdasar pada latar kesejarahaan, pembentukan kelompok Bugis dan Makassar adalah suatu gagasan dari Cornelis Speelman yang mengarah pada politik adu-domba. Karena itu dalam Perjanjian Bungaya (1667), Kelompok Bugis adalah Kerajaan-Kerajaan yang berpihak pada VOC dan Perang Makassar (1666-1667; 1668-1669), yaitu Bone, Soppeng, Luwu, dan Federasi Toratea (Binamu, Bangkala, dan Laikang). Sementara kerajaan-kerajaan yang berpihak kepada kerajaan Makassar dijadikan Kelompok Makassar, yaitu semua kerajaan yang tidak berpihak pada VOC, termasuk Kerajaan-Kerajaan di Mandar. Yang menjadi pemimpin kelompok Bugis adalah Kerajaan Bone, sementara yang menjadi pemimpin Kelompok Makassar adalah kerajaan Gowa. Namun dalam penataannya Kelompok Bugis mendapat peluang memperluas pengaruh kekuasaannya sehingga dalam pengembangan kemudian kerajaan-kerajaan yang dahulunya masuk dalam Kelompok Makassar beralih menjadi anggota Kelompok Bugis seperti Maros, Pangkajene, Tanatte, Malute Tasi, Kelompok Ajataparang, dan Mandar. Oleh karena itulah dalam pemberitaan pihak pemerintahan Belanda kemudian orang-orang Mandar (Madereezen) disebut juga orang Bugis (Bugineezen) (Encyclopedie Van. Nederlandsch-Indie, “Mandar”: 664).
Penataan administrasi pemerintahan kolonial itu mengalami perubahan ketika pemerintah Indonesia menata organisasi pemerintahan di Sulawesi. Berdasrkan peraturan Presiden RI Nomor 5 Tahun 1960 (Lembaran Negara 1960 Nomor 38). Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara terdiri dari 27 Daerah Tingkat II, dimana wilayah Mandar terbagi dalam tiga daerah Tingkat II (Kabupaten) yaitu Kabupaten: Majene, Mamuju dan Polewali-Mamasa. Pada perkembangan terakhir berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2002, pemerintahan memisahkan Mamasa dari Kabupaten polewali-Mamasa dan menjadikannya satu Kabupaten daerah Tingkat II yang Menjadi dengan nama Kabupaten daerah Tingkat II Mamasa. Penataan ini tampak kembali mengikuti penataan pada waktu pemerintahan Hindia Belanda maupun ketika Belanda tentang daerah ini yang saya tekuni, saya belum menemukan satu artikel yang menjelaskan tentang nama Mandar, kecuali penyebutan Makassar dan Sulawesi.
Interpretasi tentang pengadopsian kata mandar yang berarti sungai menjadi dasar penyebutan kewilayahan Mandar cukup beralasan Hal itu didasarkan pembentukan persekutuan menggunakan keterangan “Sungai” yaitu Pitu Babana Binanga (Tujuh Kerajaan Muara Sungai) dan Pitu Ulunna Salu (Tuju Kerajaan Hulu Sungai). Hal ini menunjukkan bahwa kerajaan-kerajaan di wilayah ini terbentuk di daerah aliran sungai, sehingga mendapat penyebutan Mandar yang berarti “Sungai”. Kenyataan menunjukan bahwa di daerah Mandar terdapat sejumlah besar sungai yang bermuara di Selat Makassar. Perkiraan ini juga di ungkapkan oleh Mocktar Husein dan H. Saharuddin, dan tentu hal itu terkait dengan kosa kata bahasa penduduk Balanipa yang menyebut sungai dengan kata mandar (mandi ke sungai = namauna di mandar). Sementara kosa kata lainnya adalah binanga dan salu yang memiliki arti “Sungai”.
Tinjauan Akhir
Gambaran periode kesejarahan daerah ini menunjukan bahwa penamaan Mandar telah mencakup wilayah yang meliputi dibagian utara Kerajaan Mamuju hingga ke Selatan Kerajaan Binuang dan bagian Timur Wilayah PUS. Dalam konsep kewilayahan sekarang meliputi Kabupaten daerah Tingkat II: Mamuju, Majene, Polewali Mamasa, dan Mamasa. Sesungguhnya penataan wilayah Kabupaten dalam kehidupan pemerintahan sekarang ini telah menggeser konsep kewilayahan Mandar, namun karena gagasan kewilayahan itu telah melahirkan pemahaman etnisitas bagi penduduk asli yang mendiami wilayah itu, maka konsep ini masih menghangat dan memiliki juga oleh penduduk Mamuju, Majene, dan Mamasa.
Mandar dengan berbagai interpretasi penamaannya dapat dipandang berpangkal dan berbasis pada Kerajaan Balanipa, yang Wilayahnya kini merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Polewali-Mamasa, sekarang minius wilayah Mamasa. Dipandang dari Latar Kesejarahan, daerah Kabupaten ini mengemban peran pemersatu, pencipta keteraturan dan ketertiban di wilayah PBB dan PUS, bahkan telah berpengaruh bagi penetapan kelompok etnis. Dengan demikian beralasan apabila pemekaran wilayah kabupaten ini mendorong munulnya gagasan untuk menempatkan kembali Kabupaten Polewali-Mamasa menjadi Kabupaten dengan mengeban nama Mandar.
Namun demikian patut dipikirkan mengingat nama Mandar telah mengikat kesatuan kaum yang lebih luas, bukan hanya Penduduk Kabupaten Polewali Mamasa. Hal itu berarti penamaan Kabupaten Mandar untuk satu bagian dari wilayah etnis Mandar akan dapat melabilkan ikatan emosional Kelompok Mandar. Namun bila penamaan itu mendapat dukungan dari semua Kelompok kaum yang telah mengidentifikasi diri menjadi Mandar, sebagai wujud pengembangan Sipamandar, hal itu dapat menjadi katup pengaman, bagi tampilnya Kabupaten Mandar sebagai nama baru Kabupaten Polewali-Mamasa.
Hal lain yang dapat dipertimbangkan adalah mencari nama lain. Penamaan Polewali lebih berpatokan pada nama pusat pemerintahan untuk seluruh wilayah Kekuasaannya. Terdapat beberapa nama yang perna teremban dan cukup beralasan untuk dijadikan nama, seperti: napo, Balanipa, dan Binuang. Latar sejarah menunjukan adanya keungulan yang muncul dari kerajaan-kerajaan dahulu dalam membangun tatanan kehidupan masyarakat yang tertib dan tentram. Karena itu dapat diabadikan melalui akronim, untuk memperoleh penyebutan nama Kabupaten yang baru, sebagai dasar motivasi bagi pemerintah untuk melaksanakan pemerintah yang tertib dan tentram.
Perlu saya tambahkan bahwa Napo telah lama dikenal sebagai salah satu bandar niaga terpenting pada pesisir barat Sulawesi, disamping: Siang, Bacokiki, dan Suppa. Bandar Tallo dan kemudian Sombaopu baru dibangun oleh raja Gowa Ke-9, Tumaparissi Kalonna (1510-1546). Pada masa pemerintahannya Kerajaan Mandar (sesungguhnya Kerajaan Napo) mengalihkan kekuasaannya atas Gorontalo kepada kerajaan Makassar. Hal itu tercatat dalam Buku Harian Raja-Raja Gowa dan Tallo membentuk persekutuan dan melibatkan diri dalam dunia perdagangan maritim, kerajaan-kerajaan di Mandar telah mengembangkan pengaruh kekuasaannya ke daerah lain, terutama kaili (Donggala) dan Gorontalo.

REVITALISASI NILAI BUDAYA MANDAR DEMI PENGUKUHAN JATI DIRI KEMANDARAN

I. PENDAHULUAN

Sekitar tahun 1970-an para peneliti budaya di Amerika mulai sadar bahwa hasil-hasil tulisan (Armchair theory) para pendahulu mereka dari tahun 1800-1960-an dianggap biasa karena ia tidak merepresentasikan nilai budaya dari orang yang ditelitinya, khususnya masyarakat dan budaya luar Amerika. Di antara Pelopornya adalah Michael dan Renato Rosaldo tercermin di dalam salah satu bukunya Knowledge and Passion IIongot Nations Of Self & Social Life (1980) tentang masyarakat IIongot di Philipina diikuti oleh teman-temannya seperti Clifford Marcus dll. Pendapat mereka menyatakan bahwa nilai budaya,apresiasi, Pikiran dan perasaan orang-orang yang diteliti harus dapat merepresentasikan makna budaya mereka sesungguhnya dalam tatanan nilai-nilai budaya lokal. Pendapat ini menggaung sedunia dan sampai dewasa ini mendapat respons yang Positf dan menghasilkan berbagai tulisan yang mempesona .
Interpretasi baru tentang makna-makna budaya dalam nuansa lokal , antara lain dapat disebutkan : Penulis Anna Lewenhaunt Tsing dalam bukunya In The Realm of the Diamond Queen (1993) tentang masyarakat Meratus di Kalimantan dan Kenneth M .George dalam bukunya showing Sign of Violence (1996) tentang pitu ulunna salu ‘. Keduanya adalah penerima penghargaan kategori penulis terbaik dimasanya . lebih menghebohkan lagi interpretasi baru dari penulis John Pemberton dalam bukunya on the subject of java (1994) yang melukiskan bahwa budaya adi luhung di dalam keratin jawa adalah rekayasa Belanda.
Sehubungan dengan kebangkitan interpretasi itu maka pengungkapan nilai budaya lokal merupakan pengukuhan identitas untuk membuat batas-batas cultural antara bangsa dan Negara. Ia menumbuhkan rasa percaya diri bagi munculnya konsep-konsep nilai budaya luhur yang dapat menahan homogenitas budaya global . Kubu budaya global dan budaya lokal telah menciptakan tegangan-tegangan budaya yang meninggi , saling ingin mendominasi satu dengan yang lainnya dan sulit untuk mendamaikan .
Dari seluruh tulisan pakar-pakar budaya dunia mutakhir ternyata nilai-nilai budaya lokal mempunyai peran yang penting sebagai motor penggerak dalam berfikir dan berprilaku karena ia berfungsi sebagai piƱata sikap dan prilaku, pembentuk identitas, dan pembangunan kwalitas manusia . Ketiga fungsi tersebut merupakan landasan kokoh yang dapat kemudian digunakan untuk membaca ulang bagaimana seorang individu Mandar untuk mengerti , memegang, melaksanakan konsep-konsep nilai budaya yang diakuinya dalam rasa dan perasaan kemandaran agar ia dapat beradaptasi secara sempurna ke dalam binkai keserasian nilai budaya Indonesia yang teguh dan kekar dalam mengarungi era budaya yang global. Nilai budaya kemandaran tersebut perlu segera diangkat dan direaktualisasikan karena ia merupakan puncak budaya Indonesia sesuai kandungan makna undang-undang Dasar 1945 pasal 32 dan penjelasannya.

II. MANDAR DALAM KEPUSTAKAAN ASING DAN INDONESIA

Diantara Keempat etnis utama di Sulsel tulisan secara ilmiah tentang budaya mandar masih dapat dihitung jari. Lebih sedih lagi kalau kita membandingkan tulisan ilmiah yang diangkat dari ketiga etnis di Sulawesi selatan . Salah satu contoh yang dapat dikemukakan bahwa ada sekitar 20 disertasi asing yang dibuat oleh Kenneth M. George (1994) tentang Mamasa .
Di dalam bahasa Indonesia tulisan ilmiah yang berkaitan dengan budaya kemandaran baru ada 4 disertasi . Diakui bahwa ada juga beberapa skripsi mahasiswa dan tulisan-tulisan dari beberapa orang namun masih dalam bentuk informasi dan belum merupakan suatu hasil tulisan melalui analisis wacana (discourse analisis) dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah . Demikian juga ada beberapa tulisan asing yang menyinggung tentang mandar yang sulit ditemukan antara lain ditulis oleh Van Leyds (1940) , Ligtvoet (1876) , Mallinckrotd (1933), Nooteboon (1940), Bosch (1933), Bikker (1932), De Graff & Stibbe (1918) , J . Dalton (1937) dll.
Disamping itu ada tulisan-tulisan singkat telah dibuat oleh Robert Wells tentang tenunan Mandar dan pengobatan tradisional , Toby Volkman dan Kathy Rabinson tentang perenan wanita Mandar (1980-an) . Satu rencana disertasi yang dibuat oleh Charles Zarnes yang telah meneliti tentang penggunaan laut dan hukum-hukum adat (1986) namun hingga saat ini belum selesai . Akibat minimnya penulisan tersebut maka kebudayaan Mandar belum terungkap secara meluas , terbukti seminar internasional tentang Sulawesi Selatan yang dilaksanakan di Australia (2000) pada konverensi OXIS (The Origin of Complex Societi In South Sulawesi ) dan 2 buku sebagai hasil seminar Internasional yang masing-masing dilaksanakan di Leidin (1987) dan Makassar (1995) di dalam South Sulawesi In The Whole Histori editor Kathy Rabbinson (2000) dan Authority and Among the people of South Sulawesi editor Roger Tol, Van Dijk dan Greg Accoalli (2000) Nederland sama sekali tidak menyinggung tentang Mandar.
Walaupun Lontara-lontara Mandar kebanyakan telah hilang namun perlu dihargai usaha dari Macknight (1972) memicrofilmkan beberapa lembar lontara dari yayasan kebudayaan Sulawesi Selatan dan kini tersimpan di ANU , Canberra , dan masih ada juga koleksi salinan lontara Mandar di leidin Unifersity di Belanda.

III. REKONSTRUKSI BUDAYA MANDAR MELALUI BERBAGAI SUMBER

Pada tahun 1930-an Penilik sekolah Tn. Maula dalam inspeksi ke daerah Kalumpang menemukan sebuah patung Budha perunggu di Sikendeng ditepi sungai karama ‘ di Mamuju . Ia kemudian melapor kepada Y.Caron Gubernur jenderal di Makassar dan langsung memerintahkan Dr.A.A Cense ke daerah tersebut dan menemukan kreweng (gerabah) yang bercorak prasejarah dan beliung-beliung persegi . Pada tahun 1933 atas perintah gubernur jenderal , ahli arkeologi Van Stein Callenfels mengadakan panggilan di kamasi, Palemba di kalumpang kemudian di lanjutkan tahun 1964 oleh DR. Van Heekeren Penggalian di Kamasi dan Minanga Sipakko, hasil Penelitian dari penggalian ini membuahkan sebuah pendapat bahwa situs-situs tersebut di atas adalah salah satu tonggak budaya Indonesia yang bernilai tinggi. Stein Callenfels dan Van Heekeren menemukan alat-alat batu yang terdiri atas beliung persegi dalam ciri morfotehnologi yang bervariasi dengan tajam monofasial. Tipe ini tersebar di asia tenggara dan pasifik, sedangkan kapak batu atau kapak lonjong tidak hanya tersebar di Indonesia bagian timur tetapi juga terdapat di beberapa Negara antara lain Birma, Korea, Jepang, Vietnam, Thaiwan, Philipina hingga ke pasifik . Pahat batu, batu asah batu giling semuanya merupakan hasil industr lokal yang mempunyai tehnik pembuatan yang cukup baik dilihat dari bentuk dan keluasannya. Disamping itu gerabah atau Kreweng dengan hiasan-hiasan bervariasi mulai dari pola geometris, segitiga, belah ketupat , bulat dan pilin memakai tehnik gores, tusuk, temple, tekan dan eksisi sangat menarik. Bahkan Solheim 11 mengatakan bahwa motif ini masuk Ke dalam kelompok Sahuynh Kalanay yang tersebar di Asia Tenggara sampai ke Pasifik.
Penemuan batu Pemukul Kayu untuk membuat Pakaian merupakan temuan penting di mana manusianya telah mengenal busana di tambah lagi industri gerabah yang berhias indah dan pembuatan batu halus yang di asah telah mengenal tehnologi tinggi. Keseluruhannya member tanda bahwa orang Kalumpang disamping menerima unsur budaya asing (Allochtone) juga tetap mengembangkan budaya sendiri (Autochtone). Dasar budaya inilah sehingga di dalam sejarah Kebudayaan Indonesia Kebudayaan Kalumpang merupakan suatu tonggak yang penting di Indonesia dari tanah mandar
Patung Budha perunggu yang tersebut diatas kemudian diteliti oleh Dr. Bosch (1933) yang menyimpulkan bahwa patung itu adalah khas di bawah dari india selatan (Amarawati) ke Asia Tenggara dan tipe patung Budha abad 11 sampai abad ke V1 masehi yang tidak ada samanya di Indonesia.
Dari semua hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa situs Kalumpang , Minanga Sipakko, dan Kamasi termasuk dalam kebudayaan hunian sungai yang bercorak Neolitik-paleometalik (perundagian) yang berumur sekitar 1500 SM berlanjut sampai pada abad 1 & 11 Masehi. Pelras dalam bukunya The Bugis (1996) menyatakan sikendeng yang berada ditepi sungai karama’ perna merupakan pelabuhan Internasional.
Bila penemuan diatas dihubungkan dengan cerita rakyat yang di rekam oleh Van Leyds (1940) menyebutkan bahwa tanah Mandar telah dipimpin oleh 41 Tomakaka . Cerita rakyat lainnya mengatakan bahwa Tomakaka berkristalisasi baik melalui koalisi ataupun perang antar mereka pada akhirnya muncul Amara’diang –Amara’diang di pitu Ba’bana Binanga dan pitu Ulunna Salu’. Cerita rakyat juga menyebutkan bahwa hubungan genealogis antar mereka mulai dari Pa’doran yang beranak tujuh kemudian melahirkan anak sebelas dari pongkapadang dan lambere’ susu sampai kepada Ta’bittoeng sebagai cucu dari la’simbangdatu menurungkan Tomannyambungi raja pertama di Balanipa. Keturunan mereka inilah yang kemudian melahirkan manusia-manusia yang memerintah di pitu Ba’bana Binanga dan pitu Ulunnasalu’. Berdasarkan landasan dasar budaya yang tinggi dan demokratis itu dikokohkan Kerjasama akrab yang masing-masing didampingi oleh pemangku-pemangku adat mulai dari poambi ‘ (pa’ambi’) Tomakaka dan Peppuangan (institusi pappuangan) serta Mara’dia di masing-masing wilayah mereka telah memberikan bukti munculnya berbagai konsep-konsep nilai budaya yang dapat dijadikan pedoman untuk masa depan .
Nilai-nilai budaya tinggi dalam berbagai konsep-konsep yang sangat moderen telah dipunyai dan diamalkan oleh orang-orang mandar sebelum di obrak-abrik oleh Belanda. Dari memori Van Leyds ditemukan bahwa benturan antara bangsawan raja dan bangsawan adat di mulai dengan kekalahan perang antara Belanda dengan passimandaran yang diakhiri oleh perjanjian plakat pendek (lange dan korte Verklaringe ) mulai pada tahun 1970-an dan berbagai peraturan-peraturan yang mengikat pada tahun1880-an . Apalagi setelah Mara’dia diangkat sebagai penguasa tunggal dan anggota adat adalah bagian dari penguasa tunggal itu. Diperparah dengan perbedaan gaji yaitu Mara’dia di gaji denga F 1800 setahun, dan anggota adat yang terdiri atas : Pa’bicara kaiyyang di gaji dengan F 480, Pa’bicara Kenje dengan gaji F 420 sedangkan pappuangan limboro Biring lembang dan tenggelang mendapat gaji F 300 pertahun. Rakyat kecil di bebani dengan pajak yang tinggi dan kerja rodi yang terdiri atas herediesent (rodi besar) dan gemeentediesent (rodi kecil) yang dapat diganti dengan uang sebesar F 5 dan F 3 yang sangat memberatkan. Akibat ulah Belanda tersebut maka puncak-puncak nilai-nilai budaya kemandaran yang luhur telah hancur dan kemudian muncul nilai negative seperti sipat siri’ate (iri hati) , situna-tunai (saling menghina) sitaiyyang lassa-lassangan (saling mencari kesalahan ), sitaiyyang adaeyang tassitaiyang apiyangan (saling tuding) , sibesonaung tassibesodai ‘ (saling ingin mencelakakan satu dengan yang lain) dll. Sifat-sifat itu disebut rasung digollai (racun yang di beri gula) oleh orang Mandar.
Keadaan diatas muncul akibat keserakahan Belanda untuk menguasai tanah Mandar melalui strategi pembenturan antara bangsawan raja dan bangsawan adat . padahal kesetaraan dan kerjasama yang akrab berdasarkan kewajiban demi tanah dan rakyat telah tertanam sebelumnya secara baku. Hal tersebut tercermin dari perjanjian luhur di masa awal munculnya Amara’diang pada pelantikan Todilaling. Pada pelantikan itu ketua adat puang Dipoyosang bertitah :
Upakaiyyangngo’o, mupakaraya, dimadondonna di duambongi anna Marra’ba-ra’bao petawung, Mambottu-bottu bass’ , Marrattaso’o uwake’ , Marruppu’o batu, Marrusa’o allewuang, Mamboe’o purallao ualai membali akaiyangan ( kami menjunjung tinggi kebesaran dan kekuasaan raja, namun selayaknya raja selalu menghargai hak dan peranan kami, besok atau lusa raja melakukan tindakan berupa merusak hukum melanggar konstitusi, memotong aturan-aturan adat / melanggar hukum, merusak dasar budaya dan kehidupan rakyat banyak, menindas rakyat kecil, merusak persatuan dan kesatuan dan ingkar dari kata dan janji maka saya cabut kekuasaan yang telah di berikan. Karena itulah maka Ammara’diang di Mandar khususnya di Balanipa menggariskan suatu kaidah politik yang menyatakan bahwa :
Anak kodai mara’dia, Banua Kaiyyang toilopi (dalam kerajaan diibaratkan,raja hanyalah sebagai nahkoda, sedangkan pemiliknya adalah rakyat melalui wakil-wakilnya (dari Napo, Samasundu, Toda-Todang, Mosso ).
Selanjutnya pesan dari Imanyambungi sebelum wafat mengatakan :
Madondong duambongi anna matea’, mau’ ana’u mau’ appou, damuannai menjari mara’dia , mua Tania tonamaasayangi pa’banua , damuannai dai’ dipe’uluang mua’ masuangi pulu-pulunna, mato’dori kedona, apa’ iamo tu’u namarruppu-ruppu lita’ (besok atau lusa manakala saya mangkat, walau dia putraku ataupun cucuku, janganlah hendaknya diangkat menjadi raja kalau di tidak cintah tanah air dan tidak belah rakyat kecil, jangan pula angkat seorang raja bila ia mempunyai tutur kata yang kasar, berbuat dan bertindak kasar pula karena orang yang seperti itulah yang akan menghancurkan negeri.

Nilai-nilai budaya kemandaran lebih dipertegas lagi dalam Piagam Tammajarra : Inggai Para diasse’I kedo ta’ –I sipa’ta’, diposoe soeta, para mellambai tau di petawung marorota’, disesena panggauang namappatumballe’ lita’ inggai sitaiyang apiangan, tassitaiyang adaeng, mara’ba sipatokkong , malilu sipakainga’, dibuttu, dilappar, andiangi tau mala sisara’ malluluare’. Madondong dumbongi anna daiang sara namappatumbiring lita’ anna disullu’ – I tammala diondongngi tammala, maganna’ tomi tia mesa tomuane namaosoangnaung lette ingga lekkoang anna mimbere’ di waona lita’, nasumbaling tomi tia me ita tama, nanarua tomi tunda simemanganna todiolo’ membulu pindang tammembulu pinjari-jarianna, membura’bemme’ boi, meana’ takkeulu, meana’ sangga lette’ meana’ take lette’. Meana’ sangga ulu.

(Marilah kita melakukan yang terbaik untuk kepentingan negri kita masing-masing, khususnya kepentingan menjaga keamanan , kesejahtraan , demi kemaslahatan rakyat. Mari kita bersama-sama mencari jalan yang baik demi kepentingan bersama dan tidak mengutamakan jalan yang buruk . Andai kita hanyut, rebah dan runtuh ,marilah bersama-sama untuk tolong menolong . Andai kita saling khilaf, marilah saling mengingatkan baik digunung maupun di daratan tidak ada sesuatu yang dapat memisahkan kekeluargaan kita sekalian . Besok lusa mana kala ada kesusahan yang akan menghancurkan dan tidak dapat lagi dilangkahi, dilewati dan dihindari karena teramat sukar . Maka marilah membulatkan tekad yang teguh seteguh mungkin sebagai ksatria perkasa dan siap mempertahankan negeri walau lancer sekalipun. Siapa yang menyimpan dari kata sepakat ini ada merusak perjanjian yang telah disepakati berarti ia tidak akan membela negeri ,ia keluar dari persekutuan , hanya akan memandang dari luar kedalam , dan akan rusak kejadian dari kemanusiaannya. Jika memijak tanah, tanah akan runtuh, berpegangan di dahan, dahan akan patah bila berakar akarpun akan putus, bertuns tunasnya juga akan hancur dan bila punya anak maka anaknya hanya punya kepala tanpa kaki, jika punya anak anaknya hanya punya kaki tanpa kepala. Peranan mara’dia demi tanah dan rakyat seperti yang telah di pesankan oleh todilaling dipertegas lagi oleh mara’dia Balanipa Daetta ke 1V Kakanna 1 Pattang yang berbunyi sebagai berikut :
Naiyya mara’dia , tammatindo dibongi , tarrare diallo, namamandangmata, dimamatana daung ayu, dimalimbonna rura, dimadinginna lita’, diajarinna banne tau, diatepuanna agama (sesungguhnya seorang raja pemimpin, tidak akan terlena dalam lelap tidur dikeheningan malam, tidak akan berdiam diri atau berpangku tangan di waktu siang hari, namun ia terus berfikir dan berusaha untuk meningkatkan hasil-hasil pertanian, berlimpah ruahnya hasil perikanan di tambak-tambak’, terciptanya kedamaian dan ketentraman, demi menjaga kelangsungan hidup manusempurnanya ajaran agama). Keserasian antara pengaruh agama dan adat dimasa Daetta juga dijelaskan sebagai berikut ;
’Naiyya adat syara’ nala sulo, Naiyya syara’, adat nala gassing, Matei adat mua’ andiang syara’ Matei syara’ mua’ andiang adat’’ (keberadaan hadat, syara’ dijadikan pedoman, sedangkan keberadaan syara’ menjadikan kekuatan tulang punggung, musna syara’ tanpa kehadiran hadat, musna hadat tanpa ditunjang oleh syara’)

IV. PUNCAK-PUNCAK NILAI BUDAYA DALAM RASA KEMANDARAN 

Pada awalnya kata ‘’Mandar’’ itu bukanlah suatu penamaan yang terkait dengan geografis dan demografis tetapi ia merupakan Kumpulan nilai-nilai yang bertitik tolak kepada sistem nilai budaya yang luhur yang berasal dari kata ‘’ Waimarandanna odi ada’ odi biasa’’ (kejernihan dari adat dan kebiasaan leluhur). Untuk menjadi orang mandar seseorang wajib mengenal inti dari nilai Passemandaran yang merupakan puncak nilai yang terkandung didalam tallu ponna atonganan (3 dasar kebijakan ) yang terdiri atas :
Mesa ponge’ pallangga (aspek ketuhanan )
Da’duatassisara’ (aspek hukum dan demokrasi )
Tallu tammalaesang (aspek ekonomi, aspek keadilan dan aspek persatuan).
Ketiga dasar kebijakan tersebut dijabarkan tersebut dijabarkan dalam annang Pappeyappuu di Lita’ Mandar (Enam pegangan utama di tanah Mandar ) yang terdiri atas :
Buttutandira’bai (tegaknya hukum secara utuh) .
Manu’ tandipessissi’ (demokrasi dalam segala lini kehidupan )
Bea’ tandicupa’(ekonomi kerakyatan yang merata)
Karra’arrangtandidappai (keadilan tanpa takaran
Waitandipolong (persatuan yang berkesinambungan )
Buttutanditema’ Diammemanganna Tokuana tokua (kutuhan keyakinan akan kekuasaan Zat yang Maha Tinggi ).
Keseluruhan nilai itu berada didalam suatu bingkai kokoh Mesa tanggesar yaitu odi ada’ odi biasa ( sesuai dengan adat dan kebiasaan adat ). Odi ada’ odi biasa inilah suatu tanda masyarakat egalitarian karena orang Mandar tidak mengenal konsep to manurung yang melahirkan masyarakat yang mempunyai stratifikasi sosial yang ketat berdasarkan darah to manurung dan darah orang kebanyakan. Hal tersebut ditegaskan oleh puang Dipojjosang ke 11 yaitu 1 Pasu tau Taji barani yang menyatakan dimuka Tomepayung bahwa kriteria utama seorang mandar : Ita’ to mandar cera’ mappamula sipa’ mappacappurang disesena taupiatonganan ( kami orang mandar kriteria darah hanya pada awalnya dan sifatlah yang menentukan pada akhirnya ). Sifat itu tercermin di dalam ajaran luhur orang Mandar yang disebut Limai gau diajappui na disanga paramata matappak ( lima perbuatan sebagai permata yang bercahaya ) yaitu
Lappu ‘ sola rakee (jujur bersama takut kepada sang pencipta )
Loa tongan sola matikka (perkataan benar bersama waspada )
Akkalang sola nia ‘ mappaccing (akal bersama niat yang suci ).
Siri ‘ sola pannassa (siri ‘ bersama keyakinan )
Barani sola pappejappu (berani bersama ketetapan hati ).
Perbuatan tersebut diatas terhalang bila :
Naiyya Massamboi Lappu gau’ bawang ( Adapun menutupi kejujuran adalah perbuatan sia-sia )
Naiyya loa’tongang alosongang ( adapun menutupi perkataan yang benar adala dusta )
Naiyya massamboi akkalang abiloang (adapun yang menutupi akal sehat adalah kebodohan)
Naiyya massamboi siri’ ke’lla- ke’lla (adapun yang menutupi siri’ adalah pikiran jahat )
Naiyya massamboi abaraniang bali’balla (adapun yang menutupi keberanian adalah khianat)
Cerminan dan aplikasi nilai budaya tersebut terdapat dalam
Loa mappa ‘bati’ di ada ‘ (perkataan tercrmin di dalam adat ). Ada’ mappa ‘bati’ di kedo (adat tercermin di dalam perbuatan )
Kedo mappa ‘bati ‘ di gau’ (perbuatan tercermin dalam prilaku )
Gau’ mappa ‘bati’ di tau ( prilaku tercermin dalam tau )
Tau mappa’bati’ di siri’ (tau tercermin di siri’ )
Siri’ mappa’bati’ di lokko’ ( siri’ tercermin dalam martabat dan harga diri yang mendalam)
Perlu ditambahkan berbagai konsep-konsep kebijakan dari nilai-nilai luhur kemandaran yang berkaitan dengan kemasyarakatan sbb :
Kesepakatan. Mua ‘purami dipallandang bassi’ pemali diliai, mua’ pura, di pobamba pemali di pepondo’I di sesena atonanganan. B assi tambbottu petabung tarrabba (Apabila sudah ditentukan sesuatu haram untuk dilangkahi, kalau sudah diucapkan/disepakati pantang diingkari, aturan harus tetap berjalan sesuai dengan asasnya ).
Penegakan Hukum. Naiyya ada’ tammaelo pai dipasoso ‘tatti tonggang pai lembarna , ta ‘ keindopai, ta’ keamma ‘ pai, ta ‘kelelluluare ‘ pai, ta’ ke sola pai, ta’ ke wali pai andiappa to dikalepa’na andiang to disaliwanna, andiang to na poriana, andiang to nabire’na Tammappucung tandoppas toi ( yang disebut badan penegak hukum adalah tegas dalam mengambil keputusan, tidak berat sebelah, tidak beribu, tidak berbapak, tidak punya saudara, tidak punya teman, tidak punya musuh, tidak diiming-iming kesenangan, tidak punya anak buah dan tidak pernah serakah ).
Mencari Kebenaran ( Puang Sodo ) Appei ruppanna uru bicara tutumasagala balibali palalo balibali. Sa’be balibali ( ada 4 pokok untuk memutuskan suatu masalah yaitu meneliti dan menganalisis perkataan kedua belah pihak , kata benar dari keluarga kedua belah pihak , saksi yang terpercaya dari kedua belah pihak .
Demokrasi. Mua’ mendi-mendi oloi elo’na toarajang disesena odiada ‘ odibiasa, turu ‘I ada ‘mua’ mendi-mendi oloi elona ada’ disesena odi ada’ odibiasa, turu’I Toarajang ( Apbila keinginan bangsawan raja agak kedepan sesuai dengan adat dan kebiasaan adat maka bangsawan adat hendaknya ikut dan demikian juga sebaliknya ).
Iyyakodhi rappanna anna mara’dia anna to kaiyyang. Mua sisalai rappanna, ditokaiyyang diule. Apa nauwang todiolo, iddai naule. Diule dai, diule’naung . Mua sisalai tokaiyyang , tau tappa diule ( Inilah suatu ibarat apabila mara’dia berhadapan dengan kaum adat, apabila mereka bersebrangan maka kaum adat harus diikuti dan apabila kaum adat bersebrangan dengan kaum adat maka rakyat harus dikuti ).
Otonomi ( Daetta Kakanna I Pattang ) Madondomg duambongi anna diang api naung bakarna napideitoi tia alabena, mu’andiani mala napideitoi pendoama’o lao diindo ada’mu, mua pitumbongi pitungallo andianni mala mupiddei siola indo ada’mu, pendoa mo’o diama ada’mu apa nasiolamo’o mappiddei (besok lusa apabila ada api menyala disuatu wilayah maka sebaiknya api itu dapat diredam sendiri dan jika tidak dapat diredam hendaknya engkau meminta pertolongan kepada ibu adatmu . Jika tujuh hari tujuh malam belum dapat diredam hendaknya engkau dating ke bapak adatmu untuk datang bersama-sama meredam api itu ).
Kaiyyang tammaccina dikende ‘ kende’na tammaccinna dikaiyanganna (yang merintah seharusnya tidak memaksakan kemauan kepada rakyat dan rakyat tidak seharusnya memaksakan kehendak kepada yang memerintah ).
Konsep Kepemimpinan (tammatindo dilangganna).Pallaku lakuanni mie lita’mu, apa’ medondong duambongi inai-inai mala mappatumbalie lita’ di balanipa, ia tomo tia nadianna dai dipeuluang, na dipesokkoi anna malai toma’tia naung ditambing mengngada’dai ( pertahankanlah tanah air anda bila besok lusa siapapun yang dapat menyelamatkan negeri Balanipa ia berhak diangkat sebagai pemimpin dan saya akan turun tahta dan mendukung dengan sepenuh hati ).
Persatuan ( Ammana Wewang / Ammana Pattolawali ) Dotai tau siamateang mie namembere diolona lita’ dadi nanaparentah tedong pute to kaper ( lebih baik mati berkalan tanah dari pada diperintah oleh Belanda si Kafir laknat). Disamping nilai-nilai tersebut di atas masih banyak lagi nilai-nilai rasa kemandaran yang perlu diinventarisir untuk revitalisasi dan direktualisasi dalam kehidupan keseharian orang mandar, misalnya kebijakan luhur, etos kerja yang tinggi, berfikir secara positif, menghargai iptek, bertindak secara propesional , persaingan dan ketangguhan yang sehat . Apabila nilai tersebut dapat dijadikan pegangan yang kuat bagi kehidupan dimanapun dan kapanpun. Saya yakin orang Mandar akan tegar menghadapi segala macam gangguan yang mungkin merubah orientasi nilai mereka di dalam mengarungi dampak negatif dari era globalisasi ini .

RUJUKAN KEPUSTAKAAN

Andaya , L. Y , 1981 : The Heritage of Arung Palakka, ver handelingen van Het Koninklijk institute vorr Tall, Land-en volkenkunde 91 . The Hague Martinus Nijhoff.
Anonim , 1909 , Mededeelingen Betreffende Eenige Mandharsche Landschappen (outleend aan het archief, Van het , Departement van kolonien ). Didalam Bijdragen Tot De taal land-en volkenkunde van Nederlandsch Indie 62; 649- 769.
Bikker, A, 1932 : Mededeelingen Een en Ander over bet Onsttaan der destricten in de onderafdeeling Binoeng en Pitoe- oeloena-saloe “ Ti –jdschrift Voor Indische Taal-, Lan –en Volkenkunde 72 : 759 – 766.
Bosch, F , D , K , 1933 : Budha – Beeld Van Celebes ‘ Weskust “ T . B . G . L XXIII, hal 495 – 513.
Dalton, John, 1968 (1837) : ‘’ Mamoodjoo in Mandar ‘’ (dalam) J .H . Moor , Notices of the Indian Archipelago, Singapore (reprint) London hal 75-79
Graaff,De, S & stibbe D. G (ed) .1918 “ Mandar Mandasch, Mandarsch Talen “. Encyelopedie van Nederlandsch-Indie . Tweede dell (H-M). Leiden : ‘ S –Graven-Hage, Martinus Ni jhoff, p. 684-685.
Heekeren,Robert Van (1992) : The Stone Age of Indonesia, The Hagua : Martinus Nijhoff.
Mallinckrodt, J. 1933 : ‘’ Zuid-celebes serie P no. 77, Gegevens over Mandar en Anders .Landshappen Van Zuid-Celebes. ‘’ adatrechtbundels KLTLV XXXV1Gravenhage’ : Martinus Nijhoff.
Macknight,C.C, 1973 : ‘’Notes On South Celebes Manuscripts’’. Canberra :Departement O
Ligtvoet, A . 1876 .” Naamsafleiding van het Rijk Balanipa in Mandar “ . Tijdschriff voor Indische Taal Land –en volkenkunde 23 : 40-41.
Lopa, Baharuddin.1982 Hukum laut . Pelayaran dan Perniagaan. Bandung, Alumni,
Rahman, Darmawan Mas’ud. 1988 .” Puang dan Daeng di Balanipa’’ Suatu Kajian tentang sistem nilai budaya orang Balanipa Mandar, Disertasi, UNHAS, Ujung Pandang
Rahman, Darmawan Mas’ud. 1987. “ Nilai Budaya ( Etos Kerja dan Semangat Kebaharian) dalam Sastra dan Pola Tingka laku Orang Mandar ‘’ (paper) .Ujung Pandang : Seminar Lagaligo.
Rahman, Darmawan Mas’ud. 1987 .’’ Lokko dan Siri’ Orang Mandar ‘’ (paper). Polewali : Seminar Budaya Mandar.
Rahman , Darmawan Masud. 1987. ‘’ Kekerabatan dan Politik di Balanipa : Suatu cerminan Hubungan Balanipa dengan Gowa (Makassar) di Abad 16 sampai dengan 19 Masehi ‘’ (paper) . Internasional Workshop on Indonesia Studies no . 2, South Sulawesi Trade , Society and Belief . Leiden : KLTL V .
Rahman, Darmawan Mas’ud . 1987.” Sawerigading di Mandar ‘’ (paper) Seminar Nasional Folktale Sawerigading . Palu (Sulawesi Tengah ) :Universitas Tadulako.
Stein Callenfels , P . V . Van 1951 . ‘’ Prehistoric Sites on The Karama River ‘’ University of Journal of East Asiatic Studies , vol , I , no 1 . Oktober 1951.

SEJARAH TANAH MANDAR

A. Dari Sini Latar Budaya Itu Dimulai
           Kebudayaan dan sejarah adalah dua hal yang tidak mungkin dipisahkan secara absolut. Artinya, ketika pengkajian kebudayaan mencoba menarik garis demarkasi dengan sejarahnya hampir bisa dipastikan yang bakal ditemui adalah kegamangan kebudayaan.
Kebudayaan apa saja dibelahan bumi ini selalunya dicatat oleh sejarah. Disitu sejarah dengan setia akan menungguinyadan mencatatkan setiap jengkal perubahan, pergeseran, bahkan pergesekan yang ditimbulkan oleh kebudayaan berukut manusia sebagai pelaku kebudayaannya. Kebudayaan sebagai gejala, kebudayaan setua sejarah manusia sendiri, yakni manusia sebagai makhluk individual dan sekaligus sosial. Disini kebudayaan dapat dimaknai sebagai pengejawantahan akan proses pengukuhan pergeseran dan perkembangan kemanusiaan. Dan kenyataan kehidupanlah yang lalu kemudian menjadi konsep kebudayaan. Fuad Hasan (1989).
Dalam pemahannya seringkali kebudayaan dimaknai sebagai hasil cipta, karsa dan krya manusia. Yang lalu oleh sejarah dicatatkan apa yang dihasilkan oleh manusia itu sebagai kebudayaan.
Ketika kacamata analisis akan diarahkan pada pengamatan atas realitas kebudayaan suatu ranah budaya, sudah hampir pasti ia tak mungkin meninggalkan akar sejarah peradabannya. Berangkat dari asumsi ini, maka kiranya tidaklah salah jika diterjemahkan, bahwa memahami sejarah dan kebudayaan tidak mungkin abai kepada realitas empiris sejarah peradaban sebuah ranah budaya. Tempat berdiamnya sebuah komunitas kemasyarakatan. Tak pelak upaya yang sama juga tampaknya harus dimulai, ketika, akan coba dikaji perihal Mandar dan kebudayaannya. Salah satu syarat utamanya adalah, mesti beranjak dari asal muasal, agenda pertumbuhan dan perkembangan kebudayaannya. Hingga kepada letak geografis kewilayahannya dan lain sebagainya yang berkaitan langsung dengan nilai-nilai yang dipahami sebagai konsep kebudayaan. Mandar sebagai sebuah entitas yang memiliki keluhuran budayanya, adalah salah satu contoh kongkret yang amatlah menarik untuk di kaji secara mendalam. Utamanya dalam kaitannya dengan realitas nilai yang terus berkembang dan dinamis bersamaan dengan pergeseran waktu dan perubahan ruang. Jika menilik periodisasi Kebudayaan Mandar, maka ada baiknya ditoleh apa yang pernah ditulis oleh Leonard Y Andaya (2004),
Di Sulawesi Selatan ada empat suku besar yakni, Makassar, Bugis, Toraja dan Mandar. Dimana bugis mendiami seluruh bagian timur dan separuh bagian barat dari semenanjung Sulawesi Selatan, Makassar mendiami bagian barat dan selatan sedangkan Toraja Sa’dan kebanyakan mendiami wilayah pegunungan utara berbatas dengan Bugis. Sementara Mandar menempati wilayah pesisiran dan pegunungan atau pedalaman di bagian barat daya. Khusus untuk Mandar terdiri atas dua pembahagian, yakni, Pitu Ulunna Salu (tujuh kerajaan digunung atau di pedalaman­- pen), mereka ini secara etnis adlah orang Toraja. Dan mereka yang tinggal dipesisiran yang berqada dibawah sebuah konferedasi, Pitu Ba’bana Binanga (tujuh kerajaan di pesisiran- pen).
Mandar, jika dikaji peradabannya, utamany dalam konteks nilai dan alegori budayanya. Sudah hampir pasti, mesti diawali dan dimulai dari pemahaman dasar atas ranah pijakan sejarah yang melatarinya, seperti yang telah dijelaskan diatas tadi.
Dari segi kebahasaan penamaan akan Mandar sendiri masih terjadi kesimpang siuran. Hal ini mudah di pahami, mengingat minimnya simbol budaya Mansar yang dapat dengan gamblang menjelaskan penggunaan label kata Mandar pada manusia yang berdiam di pesisiran dan pedalaman bagian barat sebelah utara Sulawesi Selatan ini. Atau yang kini disebut sebagai Wilayah Sulawesi Barat pasca pemekaran provinsi.
Namun untuk mempermudah pemahaman akan label penanaman Mandar itu sendiri dapat ditelisik perkosakata seperti, dharaman, manda’ dan meandar. Sebahagian pendapat mengatakan bahwa kosakata Mandar sendiri berasal dari bahasa Hindu yang terdiri dari dua kata man dan dhar yang jika digabungkan akan berbunyi dharaman yang berarti mempunyai penduduk. Yang lalu kemudian mengalami perubahan, hingga menjadi Mandar. Ibrahim Abbas (1999).
Sementara itu Mandar sendiri dapat menunjukkan aliran sungai yang dikenal dengan Sungai Mandar. Berhulu Ulu Manda’ di bahagian pegunungan Kecamatan Malunda Kabupaten Majene, dan bermuara membelah kota kecil Tinambung di Kecamatan Tinambung Kabupaten Polmas. Sehingga kini tidak jarang, ketika seseorang mau melakukan perjalanan ke Tinambung sebutan yang keluar dari bibirnya adalah ia hendak ke Mandar, yang artinya ke Tinambung yang untuk penggunaan istilah penamaan ini, tidak jelas benar, entah sejak kapan dimulai penyebutannya.
Hal yang mirp, juga pernah diungkap oleh DR. Edwar L. Poelinggomang, MA. (2004)yang menyebutkan, bahwa interfretasi tentang pengadopsian kata Mandar yang berarti sungai tersebut adalah cukuplah beralasan. Karena penamaan persekutuan Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu sendiri telah menggunakan keterangan sungai, yakni Salu dan Binanga yang keduanya jika diterjemahkan dalam bahasa Mandar bermakna sungai. Hal ini lalu diperkuat lagi oleh adanya penggunaan suku kata di daerah Balanipa yang jika menyebutkan sungai, selalu menggunakan kata Mandar.
Menurut Drs. Darwis Hamzah, seperti yang kutip Ibrahim Abbas (1999), Mandar berasal dari bahasa Ulu Salu daerah pegunungan, yang berarti manda’ yang sama dengan makassa’ atau masse’ yang berarti kuat. Disamping penamaan tersebut diatas, hal yang dapat dijadikan bahan pertimbangan adanya kata-kata dalam bahasa Mandar yang hampir mirip dan relatif memiliki kesamaan bunyi dengan kata Mandar. Seperti meandar yang berarti mengantar dan mandarra yang dapat berarti memukul dan mendera atau sipamandar yang berarti saling menguatkan.
Sipa' mandar sendiri, yang berarti saling menguatkan dapat dikaitkan dengan adanya penyatuan tujuh kerajaan pantai dan tujuh kerajaan dipegnungan atau Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga pada abad ke-16. Muh. Ridwan Alimuddin (2003).
Namun lain halnya klaim yang dikemukakan A. Syaiful Sinrang (1980), yang menyebutkan bahwa Mandar juga dapat diterjemahkan sebagai bercahaya mandara’na dan pandara’na di Ulu Manda’ di Kecamatan Malunda Kabupaten Majene. Atau ngmandara dan mandarang yang dapat diterjemahkan sebagai memanaskan dengan api.
Tetapi pada akhirnya dari mana dan apapun asal kata Mandar, hingga kini belum ada yang dapat dengan gamblang menyimpulkannya. Sebab yang pasti, Mandar adalah sebuah suku bangsa yang ada di Indonesia yang berada di Sulawesi Barat (pasca pemekaran propinsi Sulsel-pen) dan berdiam di dua wilayah yakni pesisiran dan pegunungan atau pedalaman dan berada di bagian barat Pulau Sulawesi atau pesisir utara Propinsi Sulawesi Selatan. Terdiri atas beberapa kabupaten yakni, Polmas, Majene dan Mamuju (Plus Mamasa dan Mamuju Utara Pasca Pemekaran-pen). Dan hingga kini Mandar yang diterjemahkan sebagai Sungai Mandar yang hinggakini mengalir dan bermuara membelah Kota Tinambung di Kecamatan Tinambung.
Lalu pertanyaan berikutnya adalah, dari mana pula asal muasal sejarah dan beradaban manusia Mandar. Untuk menjawabnyamungkin ada baiknya jika dimulai dengan mencoba melakukan pengklasifikasian atas zaman dan era peradaban manusia. Khusus untuk Mandar dan sejarah peradabannya dapat dibagi atas dua kategori dasar pembahagiaan. Atau yang lebih lazim dikenal sebagai periodisasi sejarah. Yang pertama adalah, zaman prasejarah dan zaman sejarah. Zaman prasejarah sendiri didasarkan pada uraian yang mencoba menguntai sejarah peradaban suatu masyarakat yang mendiami suatu wilayah, dimana komonitas masyarakat tersebut belum meluk huruf atau tulisan.
Hal yang juga menjadi pertimbangan dari prasejarah sebagai pilihan periodisasi ini adalah, pada era prasejarah-lah, peradaban dianggap sebagai masa pembentukan kebudayaan asli Indonesia. Ayatroehadi (1986).
Yang tentu dasar pengkajiannya adalah didasarkan pada simbol dan ikon-ikon kebudayaan atau benda-benda bersejarah yang dihasilkan, berikut redeksi masa pembuatan dari benda-benda bersejarah tersebut. Dasra pembagian berikutnya adalah zaman pasca prasejarah atau yang acap dikenal dengan zaman sejarah. Dimana pada zaman ini huruf atau tulisan sudah mulai dikenal.
Sehingga model dan dasar pengkajiannya didasarkan pada bukti-bukti tertulis yang ada setelah sejarah itu mulai mencatatkannya. Untuk zaman sejarah atau setelah prasejarah di Mandar ini dapat didasarkan pada dua kategorisasi pembagian yakni; Zaman Kerajaan dan yang terakhir adalah Zaman Masuknya Islam di Mandar.
B. Zaman Prasejarah
Seperti yang ditulis Muh. Ridwan Alimuddin (2003), menjelaskan bahwa, pembahagian yang pertama adalah, zaman prasejarah atau zaman yang meliputi zaman batu tua, zaman batu pertengahan dan zaman batu baru. Yang jika diurai penelusurannya, dapat dimulai sejak, adanya penggalian daerah Sampaga pada bulan Mei 1933 di Lembah Sungai Karama Kabupaten Mamuju yang menemukan beberapa peralatan prasejarah seperti batu dan gerabah. Yang lalu kemudian dilanjutkan dengan dua kali penelitian di tempat yang sama di Bukit Kamassi’ yang menemukan alat-alat seperti pisau, kapak batu, kapak batu segi empat mata panah yang halus, beserta pecah-pecahan tendiker yang berukir.
Penggalian pertamanya sendiri dilakukan oleh PV. Van Callenvels pada tahun 1933 di bagian tikur sedangkan penelitian yang kedua dilakukan oleh Dr. HR. Van Hee Karem 1949 menemukan alat-alat batu, seperti kapak batu, yang ada kemiripannya dengan Neolithic di Luzon (Philipina), Manchuria (Mongolia), Hongkong dan sebagainya. Penelitian yang dilakukan di bagian selatan puncak Magassi’ ini juga ditemukan gerabah berhiasyang dinilai oleh para arkeolog telah menunjukkan keteraturan kebudayaan di daerah Kalumpang Kabupaten Mamuju ini terlingkup dalam satu wilayah Sa-huynh Kalanay, Philipina, Vietnam dan beberapa daerah di kawasan Pasifik.
Hal berikutnya juga pernah dilakukan oleh Dr. FDK Bosch yang mencoba membandingkan hasil temuan Amiruddin Maula salah seorang tokoh pendidik di Kabupaten Majene yang menemukan Patung dan dibandingkannya dengan patung Budha dari Solok Sumatera Barat, Kotabangun Jambi, Kalimantan Barat, Gunung Lawu, Jawa Tengah, kesimpulannya, tidak ada satupun kemiripan atasnya. Dan setelah dibandingkan dengan patung budha yang ada di India, Muka dan Gandhara, kesimpulannya kemudian bahwa patung tersebut dipengaruhi oleh gay dan kemiripan dengan Budha Greeco yang ada di India Selatan yang beraliran kesenian Amarawati yang juga sangat besar pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara pada abad ke-2 dan 7 Masehi.
Dari sini kemudian dapat diterjemahkan bahwa keberadaan Manusia pertama di Mandar sesungguhnya telah lama ada. Hal itu dikuatkan oleh hitungan abad yang menjadi dasar dan pertimbangan atas temuan-temuan tersebut diatas. Yang kemudian diperkuat lagi oleh hasil penelitan yang konon pernah dilakukan HR Van Heekern bahwa kapak-kapak pembias yang ditemukan di Indonesia ada kemiripan dengan yang ditemukan di Yunan dan Tongkin (Tiongkok Selatan). Hal ini menguatkan pemahaman dan lalu melahirkan kesimpulan bahwa, orang-orang Austronesia sesungguhnya berasal dari Yunan dan Tongkin dan masuk ke Indonesia sejak 1000 tahun yang lalu.
Beranjak dari pengertian diatas ini, hal yang juga mungkin ada baiknya jika di ungkap adalah, tentang pandangan lain yang menjelaskan bahwa orang Sulawesi Selatan-termasuk Mandar-pada umumnya berasal dari ras Mongoloid yang masuk melalui jalur Philipina, lalu menyeberang ke Sulawesi dengan jalan menyusuri Selat Makassar dan merapat di pesisiran Barat Pulau Sulawesi. Konon seperti dikisahkan pula bahwa, kedatangan mereka pertama kali secara berkelompok dan bertahap. Awalnya tinggal dan berdiam didaratan dekat pesisiran, lalu dengan perlahan mereka lalu masuk gunung dan tinggal di gua-gua, hidup berburu dan mengembara di hutan-hutan. Ibrahim Abbas (1999).
Mandar seperti halnya komunitas tradisoinal dan klasik lainnya yang juga mengalami kekaburan mata rantai sejarahnya, kalau tidak kasar disebut sebagai keterputusan pintalan sejarah. Hal mana lebih di akibatkan oleh adanya kepercayaan bahwa kelahiran manusia pertama di Mandar lahir dan turun secara sporadis dari khayangan atau turun dari langit (manusia langit-pen), seperti di beberapa daerah lainnya di Indonesia. Hal itu ditandai dengan adanya To Manurung yang konon adalah manusia pertama di Mandar. Lahir dari belahan bambu atau yang lebih dikenal dengan To Wisse di Tallang. Atau yang lahir dan miniti dari atas buih air laut yang dikenal dengan To Kombong di Bura atau yang terbuang dari perut ikan hiu yang dikenal dengan Tonisesse di Tingalor. Hal ini tentu sulit untuk dapat dipertanggung jawabkan secara ilmia. Namun itulah realitas kesejarahan yang lalu melegenda dan di yakini adanya oleh sebagian besar masyarakat Mandar, dan Konon termaktub dalam lontar (naskah lokal-pen). Lebih jauh dari itu, To Manurung inilah kemudian yang juga di yakini menjadi cikal keturunan manusia pertama dan penguasa pertama di Tanah Mandar.
Sampai di sini juga ada pemahaman, masih mengutip lontar Mandar, bahwa sekitar tahun 1190 M atau abad 12 muncul sepasang manusia yang kemudian bergelar To Manurung di hulu Sungai Sa’ dang. Namun karena terjadi peperangan antara komunitas masyarakat pendatang dan komunitas masyarakat asli yang membuat salah satu komunitas masyarakat itu kemudian terdesat itu.
Namun versi lain juga ada yang menyebutkan bahwa awal muasal manusia Mandar adalah Pongkapadang yang merupakan turunan dari Tobisse di Tallang dan Tokombong di Bura yang lalu melahirkan 7 anak di hulu Sungai Sa’ dang yang kemudian menyebar di berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Salah satu diantara adalah Pongkapadang yang kemudian menurut penuturan sejarah memilih berdiam di Tabulahan dan menikahi seorang gadis yang kemudian dikenal bernama Torije’ne. Kedua pasangan ini kemudian beranak pinak yang kemudian di percaya menjadi pemimpin di beberapa kerajaan di Mandar. Sekitar abad ke-11 M. Sarman Sahudding (2004).
Belum lagi apa yang disebutkan oleh DR. Edward L. Poelinggomang, M.A. (2004), yang menuliskan bahwa manusia pertama Mandar, seperti yang ada dalam Lontar seperti yang dikutip Salahhuddin Mahmud (1984) adalah, mendarat dan menetap di daerah hulu Sungai Sadang. Keterangan ini menurutnya DR. Edwar L. Poelinggomang, M.A. dapat diterjemahkan bahwa, pemungkiman di daerah ini telah terjadi jauh sebelum terjadinya penurunan permukaan laut (masa glasial). Lalu kemudian karena bencana alam, wabah penyakit, persoalan adat dan sistem kekuasaan yang membuat mereka berpindah dan membuat pemukiman baru.
Disamping itu, mengenai manusia pertama Mandar seakan telah pula ada kesepakatan bahwa manusia pertama itu adalah Tomanurung, dimana diterjemahkan sebagai tokoh pemula pemukiman yang kemudian tersebar kebeberapa daerah.
Dari uraian diatas, jelas menunjukkan kesipangsiuran sejarah yang sungguh akan membingungkan. Namun tetap mesti dicatat, sebab penyaksian atas kejadian-kejadian yang terjadi dan diyakini adalah realitas kesejarahan yang juga bertumpuk pada alasan-alasan historis yang memang susah di tampik. Kendati memang, setiap orang yang akan melakukan pendalaman atas zaman prasejarah di Mandar akan mengalami kesulitan-kesulitan, bahkan kebuntuan.
Utamanya diakibatkan belum adanya kesepakatan antara peneliti dan para pelaku sejarah dan kebudayaan yang koncern terhadap Mandar atas zaman dan periodisasi prasejah di Mandar. Sementara satu sisi realitas-realitas pemahaman historis tersebut tetap hidup berkembang hingga kini di masyarakatnya.
Maka menarik apa yang diungkap oleh Mundarjito (1982) bahwa tidak semua pikiran manusia dapat diwujudkan kedalam tingka laku lahiriah. Sama seperti bahwa, tidak semua bahwa hasil budaya (sebagai fossilized behavior) mencerminkan mental template (deetz) dari seluruh pikiran dan tingkah laku manusia yang sanggup terekam dalam wujud benda budaya. Yang ada hanyalah sebagian kecil saja, dari sekian banyak benda budaya yang dapat selamat hingga kini. Sebagian besar rusak, sebagian besar hilang. Sedangkan sebagian besar lainnya masih berada di tanah dan dalam air.
Bahkan lebih jauh Rathje dan Schiffer, (1980) menyebutkan kendati benda bertulisan, yang itupun kalau diketemukan, telah memuat pikiran manusia dan masyarakat. Tetapi tidak lantas dapat dikatakan telah menjangkau semua asfek kehidupan semua golongan masyarakat masa lalu. Sebab bisa saja ada belum tentu mengandung kebenaran sepenuhnya. Hal ini dikarenakan kemungkinan adanya bias dari penulis masa lalu atau peneliti masa kini. Dari pandangan ini dapat disimpulkan bahwa kian abstrak sasaran studi, maka akan kian menajam pula metodologi yang mesti digunakan. Atau makin jauh masa-masa yang ingin dipelajari, maka makin sukar pula mengurangi kesenjangan-kesenjangan di dalamnya.
C. Zaman dan Sejarah Kerajaan di Mandar
Memulai penelusuran sejarah kerajaan pertama di Mandar mungkin bisa mengambil dan membandingkan dengan tatanan kerajaan lainnya. Yang selalu beranjak dari adanya manusia pertama, yang lalu kemudian berlanjut kepada mobilitas dinamis penduduk yang melahirkan arus perpindahan. Perpindahan masyarakat inilah kemudian yang melahirkan arus pendatang ke suatu komunitas mesyarakat tertentu. Kemudian berlanjut pada masa lalu lintas kepentingan dalam masyarakat tertentu. Kemudian berlanjut pada lalu lintas kepentingan dalam masyarakat heterogen. Sehingga terkadang akut memicu komplik dan peperangan diantara mereka. Sebagai konsekwensi logis dari kian memadatnya lalu lintas kepentingan dalam masyarakat pendatang dengan masyarakat yang didatangi. Dari peperangan ini pula kemudian melahirkan para pemimpin atau penguasa kerajaan-kerajaan lokal tersebut. Tetapi tentu pemahaman ini tidak lantas serta merta akan digunakan secara serampangan. Sebab apapun alasannya, penelusurannya tentu didasarkan pada fakta-fakta sejarah yang ada di masyarakat tersebut. Paling tidak melihat apa yang dipahami dan diyakini ada dan terjadi pada komunitas masyarakat yang berdiam diwilayah tersebut.
Di Mandar seperti cerita yang berkembang dan dipahami, termasuk yang ada didalam lontar seperti yang ditulis Ibrahim Abbas (1999) bahwa kerajaan pertama di Mandar muncul secara spontan dari langit (manusia langit-pen). Hal itu menilik pada dikenalnya seorang sosok yang bernama To Manurung di hulu Sungai Sa’dang pada abad ke-12 atau sekitar tahun 1190 M.
Kemudian terjadi peperangan karena adanya komunitas pendatang yang melakukan perlawanan atas mereka. Sampai disini dipahami bahwa cikal bakal kerajaan muncul pada saat itu, dimana To Manurung kemudian menjadi Raja pertama di hulu Sungai Sa’dang.
To Manurung inilah kemudian yang melahirkan seorang putra yang bernama To banua Pong. To Banua Pong kemudian melahirkan lima orang anak yang kemudian tersebar ke beberapa tempat di Sulawesi Selatan. Yang salah satu diantaranya bernama I Pa’darang. I Padarang inilah kemudian melahirkan raja-raja di Bone dan raja-raja di Mandar. Namun seperti yang lalu disahuti oleh A Syaiful Sinrang setelah melihat beberapa lontar menyebutkan bahwa dari Banua Pong lahir seorang anak yang menjadi cikal bakal para pendiri kerajaan di Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu. Ibrahim Abbas (1999).
Sedang versi lainnya malah menyebutkan bahwa cikal bakal kerajaan muncul lebih duluan yakni pada abad ke 11 M. Dari seseorang yang bernama Pongkapadang yang tak lain adalah anak To Kombong Dibura dan To Bisse Ditallang di hulu Sungai Sa’dang yang menikah dengan Tori Je’ne. dan menjadi pemimpin pertama kerajaan di Tabulahan. Sarman Sahudding (2004).
Sementara itu, Salahuddin Mahmud, seperti yang ditulis Muh. Ridwan Alimuddin (2003), bahwa kerajaan di Mandar telah ada sejak abad ke empat yang lalu dikaitkan dengan momentum berdirinya kerajaan Kuta Kertanegara di Kalimantan Timur. Hal ini dikuatkan oleh adanya pelabuhan yang terdapat di daerah Sikendeng Kalumpang Kabupaten Mamuju. Belum lagi Muara Sungai di Karama di Mamuju yang berseberangan keluar dengan Muara Sungai Mahakam di Kalimantan Timur yang menjadi titik sentral pelayaran sungai menuju Hulu Sungai Mahakam. Namun karena infasi militer dan wabah penyakit kerajaan di Mamuju ini kemudian dipisahkan pindah ke Toraja atau Luwu.
Satu hal yang menarik, utamanya yang ditulis oleh Sarman Sahuddin dan Ibrahim Abbas sama-sama menyakini bahwa kerajaan pertama di Mandar berasal dari Hulu Sungai Sa’dang, sementara yang satunya lagi Muh. Ridwan Alimuddin, justru meyakini bahwa kerajaan pertama dan telah ada jauh sebelumnya, seperti apa yang dikemukakan oleh beberapa penulis lainnya. Dimana menurutnya sejarah kerajaan di Mandar dapat ditelusuri sejak berdirinya kerajaan di Kutai Kertanegara. Hala yang terakhir ini juga didasarkan pada temuan sejarah yang menunjukkan adanya cikal bakal kerajaan Mandar di Mamuju kala itu.
Lebih lanjut Muh. Ridwan Alimuddin menjelaskan, bahwa zaman kerajaan juga dapat ditelusuri sejak zaman Tomakaka, istilah lain bagi raja atau Mara’dia ketika itu. Pada era inilah Mandar kala itu dipimpin oleh seorang Tomakaka. Lalu entah mangkat atau apa, era tomakaka kemudian berakhir, ditandai dengan munculnya ; Tomakaka Tombara; Tomakaka Tombara ‘sendiri adalah pimpinan persekutuan hukum yang timbul dan berdiri sendiri-sendiri dalam komunitas lokal mereka.
Untuk Zaman Tomakaka ini sendiri tidak jelas benar kapan munculnya. Yang ada hanya dugaan bahwa ia ada sebelum zaman Lagaligo. Sedang I Lagaligo sendiri, seperti yang ditulis Leonard Y Andaya (2004), diciptakan di Luwu pada masa Puncak kekuasaannya yakni pada abad-9.
Dalam perkembangan berikutnya, Tomakaka lalu menjadi pemimpin di daerah pesisiran yang melenyap setelah tampilnya Mara’dia atau raja pertama Todilaling. Sementara di wilayah pegunungan Tomakaka tetap ada walau di wilayah pesisiran zaman Tomakaka sendiri telah berakhir. Dalam tatanan administratif, Tomakaka sesungguhnya adalah orang yang dituangkan dalam komunitas lokal, tetapi ia memiliki kedaulatan penuh kedalam dan keluar komunitas lokalnya. Hal yang dapat dijadikan acuan dalam menelusuri zaman tomakaka ini juga adalah apa yang pernah ditulis dalam Bestuurmemorie seorang asisiten Residen Mandar, W. J. Leyds yang menyebutkan, bahwa sebelum jaman Tidilaling telah terdapat banyak kerajaan-kerajaan kecil di Mandar yang untuk itu dikepalai oleh seorang Tomakaka. Seperti Tomakaka yang memimpin di Pasokkorang yang berada di Luyo atau dekat Mambu.
Namun karena mendapatkan penyerbuang dari gunung, maupun dari pesisiran Tomakaka di Pasokkorang ini lalu lenyap, bersamaan dengan hangusnya rumah-rumah penduduk Sarman Sahuddin (2004).
Sementara itu peta dan agenda sejarah perjalanan kerajaan Mandar juga tak boleh luput dari sejarah kerajaan balanipa yang kala itu ditandai dengan hadirnya Todilaling atau dikenal sebagai Tomayambungi sebagai mara’dia pertama. Yang setelah ia kembali dari Goa berupaya mempersatukan negri-negri besar atau lebih dikenal sebagai Appe Banua Kaiyyang (empat kerajaan besar-pen) yang meliputi, Napo, Mosso, Samasundu dan Todang. Masing-masing daerah itu juga dipimpin oleh Mara’dia atau raja yang diketahui oleh Tomayambungi. Dan setelah ia mangkat, lalu digantikan oleh anaknya yang bernama Tomepayung.
Pada perjalanan kepemimpinan Tomepayung ini lalu dikenal sebuah nama Puang Dipoyosang atau Puang Limboro sebagai sosok yang banyak membantu Tomepayung dalam kepemimpinan. Bantuan yang konkret atas kepemimpinan Tomepayung ini ditunjukkan oleh Puang Limboro dengan kemampuannya merampung dan mempersatukan beberapa kerajaan diwilayah Pitu Ba’bana Binanga, seperti kerajaan Sendana, Tappalang, Banggae, Pamboang dan Mamuju. Lalu membuat persekutuan kekerabatan (konfederasi) yang kemudian dikenal dengan Annang Ba’bana Binanga (enam kerajaan pesisir-pen),minus kerajaan Binuang yangdiketahui oleh Tomeyung sebagai Mara’dia Kedua Balanipa.
Bertitik tolak dari sinila lalu kemudian dikenal adanya perjanjian atau Muktamar Tammajara. Yang dalam banyak catatan menyebutkan, Muktamar atau perjanjian Tamajarra pertama yang dijelaskan pada abad-15 M. Konon perjanjian ini dilatar belakangi oleh keinginan untuk menyerang dan menghancurkan Tomakaka Pasokkorang yang dinilai telah lama mengganggu ketentraman daerah Mandar yang kala itu belum berbentuk Pitu Ba’bana Binanga.
Sahdan pasca Mukatamar atau perjanjian Tammajarra pertama itulah, lalu keempat kerajaan ini menyerang dan memberanggus kerajaan Pasokkorang. Namun Pasokkorang sendiri sempat malarikan diri ke Sawitto (daerah di Kabupaten Pinrang-pen). Lalu digelarlah kembali Muktamar Tamajarra ke dua yang juga digelar di Balanipa dan masih diketua oleh Tomepayung dan sudah dihadiri oleh tujuh kerajaan pesisiran, termasuk Binuang yang absen pada Muktamar Pertama.
Motivasi dari Ikrar Tammajarra kedua ini adalah untuk menguatkan barisan kembali melawan dan menyerang Pasokkorang yang dikhawatirkan akan kembali berjaya setelah kembali dari Sawitto. Pada Muktamar atau perjanjian Tammajarra kedua ini juga lahir rumusan untuk menjadikan Kerajaan Balanipa sebagai bapak dan Kerajaan Sendana sebagai ibu dalam konsep dan tatanan adat. Kendati Balanipa sebagai Bapak dan Sendana sebagai Ibu dalam tatanan adat, namun kerajaan-kerajaan lainnya tetap memiliki otoritas kewilayahan masing-masing, kecuali dalam hal pertahanan dan keamanan. Dari Ikrar Tammajarra kedua ini pulalah terealisir keinginan untuk menyatu dalam sebuah persekutuan Pitu Ba’bana Binanga ini, walau sebelumnya idea dasarnya telah muncul pada saat Ikrar Tammajarra pertama.
Versi lain diseputar sejarah Muktamar Tammajarra ini juga sempat ditulis oleh Ibrahim Abbas (1999) yang menyebutkan bahwa, Ikrar Tammajarra pertama justru terjadi pada zaman Mara’dia Todilalang I Mayambungi atau raja Balanipa pertama dan bertempat di Tamajarra yang juga dihadiri oleh enam kerajaan Mandar di pesisiran pantai, minus Kerajaan Binuang. Hasil dari Ikrar Tammajarra pertama ini kemudian memuat materi kesepakatan untuk mengangkat Balanipa sebagai bapak pada tatnan adat, dan Sendana sebagai Ibu. Yang pengandaiannya adalah, Balanipa berfungsi sebagai penerang atau pelita bagi enam kerajaan tersebut. Sedangkan Sendana sebagai payung atas enam kerajaan tersebut.
Sedang pada Ikrar Tammajarra kedua yang disponsori oleh Todiwesoang (Raja Balanipa ke-4), dihadiri oleh raja-raja dari tujuh kerajaan pesisiran. Termasuk kerajaan Sipajolangi (Raja Binanga I). Adapun ketetapan yang lahir dari Ikrar Tammajarra kedua yang juga telah dihadiri oleh kerajaan Binuang ini adalah, mengenai ketetapan-ketetapan masalah hukum, dimana persoalan di tingkat otoritas kerajaan masing-masing yang tak lagi dapat diretas. Maka yang berhak menyelesaikannya sebagai hakim tingkat pertama adalahibu yakni Sendana. Jika selama tujuh hari tidak juga ditemukan kepastian hukum maka Balanipa-lah sebagai hakim akhir dari persengtaan hukum atau persoalan kemasyarakatan lainnya.
Sementara itu konfederasi tujuh kerajaan di gunung sendiri juga membentuk sebuah persekutuan, atau yang kemudian dikenal sebagai Pitu Ulunna Salu yang menurut sejarah Pitu Ulunna Salu digelar pada akhir abad ke-15 M yang ditetapkan di Talipukki sebagai Lisuan Ada’. Sarman sahudding (2004).
Sementara itu menurut Muh. Ridwan Alimuddin (2003) deklarasi Pitu Ulunna Salu sendiri digagas dan diprakarsai oleh Londong Dehata alias Tomapu’. Muktamar Pitu Ulunna Salu sendiri dihadiri oleh Rantebulahan sebagai Indo Lembang, Aralle sebagai Indo Kadanene’, Indo Lita’ Petaha Mana Pabisa Parandangan, Mambi sebagai Lantang Kadanene’, Tabang sebagai Bubunganna Kadanene’, dan Bambang sebagai Bubunganna Kadanene’.
Sedang menurut, Ibrahim Abbas (1999), musyawarah pembentukan persekutuan Pitu Ulunna Salu digelar di daerah Mambi dihadiri oleh tujuh kerajaan dan menelorkan beberapa kesepakatan seperti, Rantebulahan sebagai ketua persekutuan yang bergelar Indo Lembang, Aralle sebagai Wakil Ketua Persekutuan, Mambi sebagai tempat Permusyawaratan Persekutuan, Sementara Tabang sebagai Bumbunna Sangkadanne,’ Dan Bambang sebagai Dandirinma Sangkadann,’ Matangnga sebagai Tundu’ Masande’na, serta Tu’bi sebagai Tomatuanna Sangkadanene.’
Yang menarik dari sejarah persekutuan kerajaan di Pitu Ulunna Salu tersebut adalah adanya ketidak sepahaman apakah Tu’bi juga adalah bahagian yang masuk kedalam persekutuan tersebut atau tidak. Sebab yang jelas Sarman Sahudding (2004) menulis bahwa, persekutuan Pitu Ulunna Salu terdiri atas, Tabulahan, Rantebulahan, Mambi, Aralle, Matangga, Tabang dan Bambang.
Dalam tulisannya itu ia juga mengakui bahwa memang ada semacam kontroversi sejarah. Tu’bi atau Bambang-kah yang masuk dalam persekutuan tersebut. Versi pertama menyebutkan, Bambang-lah yang masuk dengan alasan penyebaran agama Kristiani di Bambang yang cukup massif. Sedang paham lainnya juga memahami, bahwa justru Tu’bi-lah yang masuk, juga karena alasan agama Islam yang mayoritas di Tu’bi, sedangkan Bambang muncul kemudian disebabkan karena Bambang kemudian dikukuhkan sebagai Su’buan Ada’di Pitu Ulunna Salu.
Dan jika disandingkan dengan konteks ketatanegaraan di kekinian, persekutuan di Pitu Ulunna Salu dapat diterjemahkan sebagai berikut : Tabulahan sebagai eksekutif yang bertugas menangani masalah kesejahteraan, kesehatan, keagamaan dan pendidikan di Pitu Ulunna Salu, Sedangkan Rantebulahan, bertugas sebagai eksekutiv yang berfungsi menangani masalah politik, keagamaan terutama menyangkut perang fisik dan perekonomian. Sementara Mambi, lebih fokus menangani bidang pertanian dalam bidang eksekutiv sedang Mambi dalam bidang legislative bertugas sebagai tempat penyelenggaraan musyawarah adat Pitu Ulunna Salu.
Aralle bertugas sebagai juru penerangan, sebagai diplomator atau pemerintahan adat. Baik ke dalam maupun ke luar. Lebih khusus, menjadi pusat informasi, utamanya kepada Pitu Ba’bana Binanga mengenai hubungan kedua wilayah besar serumpung tersebut. Sedang dalam bidang legeslative Aralle adalah kedua sedang permusyawaratan adat. Matangnga sendiri, berfungsi dalam bidang eksekutiv sebagai benteng pertahanan, khususnya jika persekutuan dalam keadaan genting dan mendesak akan adanya serangan dari luar wilayah persekutuan. Di bidang legislative Matanganga bertanggungj awab atas keamanan dan ketertiban jalannya sidang musyawarah adat jika digelar.
Sedang Tabang bertugas menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan dalam bidang eksekutiv menjaga dan mengamankan hasil-hasil musyawarah dalam bidang legislative. Sementara Bambang bertugas sebagai penghubung dengan semua anggota persekutuan jika akan digelar musyarah adat dan menyimpan serta menjaga kerahasiaan hasil musyawarah adat. Dan yang terakhir Tu’bi memiliki tugas menjaga batas wilayah, sekaligus menjadi penghubung terkhusus kaitannya dengan kepentingan rakyat dua wilayah persekutuan, utamanya dengan Pitu Ba’bana Binanga.
Hal lain yang juga tak kalah menariknya dari sejarah kerajaan di Mandar adalah, dikenalnya beberapa perjanjian, sebagai salah satu asfek dari sekian banyak asfek sejarah yang menyokong etnis atau suku bangsa yang bernama Mandar ini. Yang untuk itu dapat di baca jejak-jejaknya hingga kini. Artinya adalah ketika terbangun kesepakatan bahwa Mandar adalah sebuah negeri yang besar dan memiliki peradaban yang agung berikiut sejarahnya. Maka andil sejarah beberapa perjanjian dalam menoreh jejak pada tapak-tapak sejarah kerajaan Mandar adalah sebuah keniscayaan yang mutlak dibahasakan. Dari lintas alur logika inilah akan dicoba diurai beberapa perjanjian dan deklarasi yang lalu kemudian menyerah di Tanah Mandar selain sejarah Muktamar Tamamajarra Pertama dan Muktamar Tammajarra Kedua serta deklarasi Pitu Ulunna Salu.
Jika dipilah-pila, maka beberapa perjanjian tersebut seperti dikemukakan oleh Drs. Muis Mandra (2004) adalah; Perjanjian Rantebulahan yang konon terjadi pada abad ke-17 M. Antara kerajaan Rantebulahan dan mewakili Pitu Ulunna Salu dan Balanipa dan mewakili Pitu Ba’bana Binanga. Motif dari perjanjian ini adalah untuk memperkecil perbedaan pendapat guna persatuan dan kesatuan.
Sedang perjanjian berikutnya adalah, Perjanjian Malunda yang juga diklaim terjadi pada abad yang sama dengan Perjanjian Rantebulahan. Perjanjian ini dilangsungkan antara Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga untuk menetralisi masalah Laikang Tallu dan Lante Samballa di Taang.
Berikutnya adalah, perjanjian Passulurang Bassi di Lakahang yang juga diduga terjadi pada abad ke-17 M yang bertujuan untuk membicarakan tentang masalah orang Pasokkorang sebagai rampasan perang di Mandar dan masalah tiga perempat dari daerah Palili’ Massedan yang menghadap ke Pitu Ulunna Salu dan seperempatnya menghadap ke Pitu Ba’bana Binanga.
Perjanjian lainnya adalah, Perjanjian Sungki’ yang diduga terjadi sekitar abad ke-18 M yang materinya adalah membicarakan tentang status Palili’ Massedan. Sedang perjanjian Damadama’ adalah perjanjian yang berikutnya, dan diduga juga terjadi pada abad yang sama dengan Perjanjian Sungki’ yang materinya juga membicarakan tentang status daerah Paili’ Massedan, utamanya menyangkut hukum yang berlaku di daerah tersebut. Dimana ditetapkan melalui perjanjian ini, bahwa hukum yang digunakan di Palili’ Massedan adalah hukum yang hidup di daerah tersebut.
Perjanjian berikutnya adalah Allamunga Batu di Luyo, sebagai titik sumbu penyeimbang peta geografis kewilayahan Mandar antara persekutuan Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga yang menurut sejarahnya di motori oleh Raja Balanipa ke dua yang digelar di Luyo. Lalu dikatakan sebagai Allamungan Batu di Luyo, sebab pada perjanjian atau deklarasi ini, kemudian di simbolkan dalam bentuk batu yang ditanam ke dalam tanah di Luyo. Yang kini lalu menjadi simbol sejarah persatuan antara kedua persekutuan di Mandar.
Konon pada perjanjian tersebut juga dihadiri London Dehata alias Tomapu’ dari Pitu Ulunna Salu sedangkan dari Pitu Ba’bana Binanga diwakili oleh Tomepayung sendiri. Perjanjian atau Ikrar Luyo sendiri digelar pada abad ke-18 / 19 M sekaligus menjadi tonggkat diresmikannya nama Mandar untuk perserikatan dua persekutuan tersebut.
Sedang Sarman Sahudding (2004), juga menulis bahwa materi kesepakatan atas ikrar atau perjanjian Loyu tersebut adalah pertama, jika anasir musuh datang dari wilayah pegunungan atau pedalaman, maka itu dibawah tanggung jawab Pitu Ulunna Salu sedang jika anasirnya musuh datang dari wilayah pesisiran, maka yang menjadi penanggung jawabanya adalah, Pitu Ba’bana Binanga. Lalu yang kedua adalah, ikrar persatuan dan soliditas antara dua persekutuan tersebut. Dan yang ketiga adalah, pernyataan senasib sepenanggungan diantara kedua persekutuan.
Perjanjian ini pulalah kemudian yang diklaim banyak orang sebagai perjanjian persatuan dua buah persekutuan dan menjadi tonggak sejarah keluhuran dan kebesaran peradaban Mandar. Cukup beralasan memang, mengingat bahwa formalnya penyebutan Nama Mandar konon dimulai sejak adanya perjanjian ini, yang sekaligus menandai menyatunya kedua persekutuan besar antara Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu ke dalam satu serikat konfederasi.
Bahkan menurut Darwis Hamzah seperti dikutif DR. Edwar L. Poelinggomang, M.A. (2004), menyebutkan bahwa sebutan lain yang tepat atas Perjanjian Luyo ini adalah Sipamandar, yang kurang lebih berarti, saling menguatkan. Belum lagi keyakinan yang menyebutkan bahwa perjanjian Luyo adalah Sipamandar yang kurang lebih berarti, saling menguatkan. Belum lagi keyakinan yang menyebutkan bahwa perjanjian Luyo ini adalah perjanjian yang dianologikan sebagai bola mata yang mustahil dipisahkan antara warna hitam dan warna putih.
D. Sejarah dan Zaman
Masuknya Islam di Mandar
Jauh abad sebelum Islam dikenal di Nusantara, utamanya pada zaman kerajaan, dimana Islam belum sempat menyentuh mereka. Mandar hampir sama persis dengan kerajaan-kerajaan atau komonitas adat lainnya di nusantara juga ketika mereka belum mengenal adanya agama (baca : agama resmi). Sehingga yang dapat di cermati dari era atau zaman tersebut adalah adanya kepercayaan yang bisah diamati pada bentuk verbal simbol-simbol budaya.Yang kemudian dikenal sebagai religi budaya.
Yusuf Akib (2003) menjelaskan bahwa, simbol-simbol tersebut digunakan sebagai media untuk mengekspresikan emosi keagamaan, dengan syarat bahwa simbol tersebut harus bisa membangkitkan perasaan dan keterikatan. Lebih dari sekedar formulasi verbal dari benda yang dipercaya sebagai lambang.
Artinya, diyakini bahwa masyarakat adat Mandar ketika itu hanya tunduk dan patuh kepada kepercayaan animisme yakni, kepercayaan kepada roh yang mendiami semua benda, seperti pohon, batu, sungai dan sebagainya, selebihnya adalah juga tunduk dan patuh atas kepercayaan dinamisme atau; kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai kekuatan yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidup. Artinya yang berkembang pada saat itu adalah, kepercayaan yang lalu kemudian di bahasankan sebagai religi. Yang untuk itu dapat dilihat dalam lokalitas adat yang hingga kini masih menyisahkan simbol-simbol budaya dan upacara-upacara ritual kepercayaan, yang tentu diyakini dapat membangkitkan perasaan dan keterikatan.
Di Mandar khususnya di wilayah pedalaman atau pegunungan Pitu Ulunna Salu telah mengenal sebuah kepercayaan sebelum Islam banyak dianut, religi budaya yang dikenal ketika itu adalah, Adat Mappurondo yang diterjemahkan sebagai berpegang pada palsafah Pemali appa randanna. Sarman Sahudding (2004).
Sedang untuk wilayah persekutuan Pitu Ba’bana Binanga sendiri, religi budaya hanya dapat ditemui pada peninggalannya yang berupa ritual dan upacara-upacara adat yang tampaknya bisa dijadikan patokan bahwa ia bersumber dari religi budaya dan kepercayaan masa lalunya. Seperti, tradisi ritual mappasoro’ (atau melarungkan sesaji di sungai-pen). Atau mattula bala’ (menyiapkan sesaji untuk menolak musibah-pen) dan lain sebagainya yang diyakini akan membawa manfaat kepada masyarakat yang melakukannya. Dari sini jelas tampak betapa simbol-simbol budaya itu berangkat dari religi budaya, yang untuk itu tidak dikenal dalam Islam.
Sementara khusus untuk agama resmi seperti Islam misalnya, sebahagian pandangan menyebutkan, pertama dikenal oleh masyarakat Mandar pada abad ke-16 M. saat itu berawal dari adanya para pedagang dari wilayah seberang yang masuk ke Mandar. Utamanya daerah yang berada dipesisiran. Konon ketika itu Daetta Tommuane, mara’dia yang memerintah di Balanipa didatangi oleh Abdurrahim Kamaluddin seorang pembawa siar Islam dari Gowa yang kemudian dikenal dengan sebutan Tuanta Yusuf alias Tuanta di Binuang sebab terakhir ia berdiam dan lalu meninggal dan dimakamkan di Binuang Ibrahim Abbas (1999).
Menurut sejarah Tuanta di Binuang inilah kemudian yang mula pertama menganjurkan dan mengerjakan Islam dengan pendekatan populis, yakni di tingkat masyarakat paling bawah (grass root). Adapun metode yang ia gunakan adalah mendirikan pusat-pusat pengkajian dan pengajian ke-Islam-an yang seperti pesentren. Pesantren yang paling pertama ia bangun adalah di daerah Tanggatangga. Salah satu daerah yang berada dibawah kendali wilayah mara’dia Balanipa. Dan di Tanggatangg itu pula oleh Tuanta di Binuang kemudian mendirikan Mesjid yang pertama di Tanah Mandar. Hal ini kemudian ditandai dengan simbol yang dikenal sebagai mokking patappulo diwilayah tersebut, yang kalo diterjemahkan kurang lebih berarti empat puluh orang santri. Sebagai santri yang mula pertama diasuh di pesantren tersebut.
Sepeninggalan Tuanta di Binuang inilah kemudian secara pelan namun pasti penganut agama Islam di Balanipa Kian bertambah massif, hingga ke wilayah Allu, Palili, Binuang dan sebahagian Banggae. Lalu masi pada abad yang sama, di Pamboang juga didatangi oleh dua penganjur Islam dari jawa dan bernama Raden Suryo Dilogo dan Syekh. Zakariah yang berasal dari Maghreb di daratan Afrika Utara. Berawal dari situlah kemudian Islam mula pertama dikenal di Pamboang yang kemudian diiukuti oleh mar’dia Pamboang yang lalu bergelar Tomatindo Diagamana, yang kalau diterjemahkan kurang lebih berarti orang yang meninggal ketika ia telah menganut agamanya, yakni Islam.
Laiknya sebuah seruan kerajaan, saat mara’dia Pamboang tersebut memeluk Islam, maka berbondong-bondong pulalah kemudian masyarakat memeluk agama yang dianut oleh sang mara’dia. Lalu pada abad ke-17 di Salabose Banggae juga Mara’dia Tondo’ juga didatangi oleh Syekh Abdul Mannan yang digelar sebagai Tosalama’ di salah seorang penganjur Islam yang kemudian diamini oleh para petinggi kerajaan di Banggae kala itu.
Namun versi lain juga menyebutkan, bahwa sejarah masuknya Islam di Mandar, tidaklah dapat dipisahkan dari sejarah masuknya Islam di Sulawesi. Hal itu diperkuat oleh berita yang dilansir oleh Anthony de Paiva seorang pedagang Portugis yang pernah berkunjung ke Sulawesi pada tahun 1543 dan menandakan bahwa saudagar-saudagar muslim sudah menginjakkan kaki sebelumnya ditanah Mandar, dan itu terjadi sekitar akhir abad ke-15 M. Muh. Ridwan Alimuddin (2003).
Bahkan lebih jauh Muh. Ridwan Alimuddin menulis, sejarah masuknya Islam di Mandar juga menuai banyak pendapat, yang antara lain, melirik lontar Mandar yang menyebutkan, bahwa Abdurrahim Kamaluddin-lah yang mula pertama membawa syiar Islam ke Mandar, saat ia mula pertama merapat di bibir pantai Tammangalle. Dan Kanne Cunang atau mara’dia Pallis-lah yang mula pertama memeluk Islam lalu diikuti oleh Raja Balanipa ke-4; Daetta Tommuane alias Kakanna I Pattang. Pendapat ini kemudian dinilai banyak kekurangannya. Utamanya tidak ditemukannya keturunan Abdurrahmim Kamaluddin di Mandar.
Sedang menurut Lontar Gowa, Islam pertama kali masuk di Mandar di bawah oleh Tuanta Syekh Yusuf ( Tuanta Salamaka). Menurut pendapat ini pada tahun 1608 seluruh daerah Mandar telah memeluk Agama Islam. Namun tidak jelas benar apakah yang di maksud Tuanta Syekh Yusuf ini juga adalah Syekh Abdul Mannan yang membawa siar Islam di Banggae yang pertama kali diamini oleh Tomatindo di Masigi sekitar tahun 1608 atau bukan. Sampai disini disebutkan pula, bahwa yang pertama memeluk agama Islam di Banggae adalah Sukkilan yang kuburannya dapat ditemukan di Mesjid Raya Majene kini.
Sedang versi lainnya juga menyebutkan, bahwa untuk menapak jejak langkah pertama siar Islam di Mandar juga dapat menilik surat yang dari Mekkah Pada I Muharram 1402 H. yang kalo ditukil, didalamnya menyebutkan tentang, kehadiran seorang Assayyid Al Adiy dan bergelar Guru Ga’de yang berasal dari keturunan Malik Ibrahim. Surat ini diperkuat dengan kuburannya yang hingga kini juga masih dapat dikunjungi di Desa Lambanan. Dan hingga kini masyarakat masih juga ramai mengunjungi kuburan yang dianggap keramat tersebut. Belum lagi, sampai saat ini silsilah keturunan Guru Ga’de yang juga masih berlanjut, seperti dikenalnya nama H. Muhammad Nuh yang tidak lain adalah cucu dari Guru Ga’de yang pada abad ke-18 merupakan orang yang pertama yang memperkenalkan pola pendidikan pesantren di Desa Pambusuang dan Campalagian.
Sementara itu, penyebaran Islam di Mamuju, Sendana, Pamboang dan Tappalang mula pertama diperkenalkan oleh Sayyid Zakaria dan Kapuang Jawa alias Raden Mas Suryo Adilogo yang tidak lain adalah murid dari Sunan Bonang yang datang dari Kalimantan menyebarkan siar Islam, lalu lanjut ke pulau Sulawesi dan menetap pertama kali di Mamuju.
Belum lagi banyaknya pemakaman Tosalama’ lainnya di tanah Mandar, yang juga sekaligus dapat membuktikan betapa membuminya Islam di tanah Mandar. Salah satu yang masih ramai dikunjungi oleh banyak orang adalah, di Pulau Tosalama’ di Kecamatan Binuang Kabupaten polewali Mandar. Dimana ditempat tersebut dan berada di atas puncak ketinggian dikebumikan Syekh Bil Ma’ruf yang juga diyakini adalah salah seorang menganjur Islam di tanah Mandar. Ditempat itu pula, tepat dipintu masuk makam jelas terbaca monument ordinantie nomor 238 tahun 1931 yang diperkirakan menyebarkan Islam di Mandar sekitar Abad ke-16 M..
Lantas bagaimana dengan Islam di wilayah Pitu Ulunna Salu. Baik dicoba pula dibongkar sedikit memori sejarah peradaban perkembangan Islam di daerah tersebut. Seperti yang ditulis oleh Ibrahim Abbas (1999), yang menyebutkan, bahwa memahami sejarah awal mula Islam dikenal di Pitu Ulunna Salu terjadi sekitar abad ke-17 dan ke-18 yang ditandai dengan kehadiran Tuanta di Bulobulo di daerah tersebut dan membuat Indo Kadanene' atau yang bergelar Todilamung Sallang (dimakamkan dalam keadaan beragama Islam-pen). Yang lalu susul menyusul diikuti oleh raja-raja di persekutuan Pitu Ulunna Salu tersebut, seperti Indo Lembang, Tomakaka' Mambi, Tomakaka' Matangga. Kecuali Tabang, Tabulahan dan Bambang hampir semua kerajaan-kerajaan di persekutuan Pitu Ulunna Salu mengikuti dan memeluk agama Islam.
Sedang Sarman Sahudding (2004) menulis, Islam pertama kali datang dibawa oleh para pedagang dari wilayah pesisiran pantai, seperti Haji Cendrana, Haji Tapalang, Haji Pure dan Daeng Pasore dan itu terjadi sekitar akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18. Daerah yang pertama didatangi oleh pedagang tadi untuk menyebarkan Islam tersebut adalah Lembang Matangga atau daerah Posi' melalui daerah Mapi dan Tu'bi. Hal lain yang juga dapat dijadikan titik tumpu penelusuran sejarah peradaban Islam di Pitu Ulunna Salu adalah melalui ditemukannya kuburan tua di daerah Matangga yang oleh masyarakat setempat diyakini sebagai kuburan tempat dikebumikannya To Salama' atau sang pembawa Islam pertama kali ke daerah mi. Konon sebelumnya pernah datang dua or­ang yang tak dikenal sebagai pembawa Islam pertama.
Namun yang satunya kembali, sedang yang satunya lagi tinggal dan lalu meninggal di daerah Lembang Matangga, hingga akhirnya dikebumikan di tempat tersebut. Dari kuburan tempat dikebumikannya itulah kemudian, lalu dianggap keramat oleh peduduk sekitar yang hingga kini diyakini adalah kuburan Wall sang pembawa dan penyebar Islam di wilayah Pitu Ulunna Salu. Sedang daerah kedua tempat penyebaran Islam di wilayah persekutuan ini adalah di daerah Talipukki. Sebagai Bahagian dari Lembang Mambi, di daerah ini juga ditemukan kuburan yang sama, juga diyakini sebagai pekuburan To Salama' yang dipercaya pertama kali membawa Islam ke Daerah Talipukki. Demikian pula halnya dengan daerah Lembang Aralle, dimana dari daerah ini didapatkan pembuktian adanya Daeng. Mappali yang tak lain adalah cucu dari Kada Nene'. Yang lalu dipercaya sebagai orang yang pertama memeluk Islam. Hal itu terbukti dengan gelar yang disandangkan atasnya yakni, TodilamungSallang(yang dikebumikan dalam keadaan muslim-pen). Sedang di Lembang Rentebulahan, juga dikenal seorang nama Tomesokko' Sallang (yang berkopiah muslim-pen) yang tak lain adalah cucu dari salah seorang cucu Indo Lembang di Rantebulan.
E. Dialek dan Gaya Bahasa Orang Mandar
Seperti suku-suku atau etnis lainnya yang ada pada suatu bangsa termasuk yang ada di Indonesia, dipahami bahwa bahasa merupakan identitas yang menunjukkan suatu bangsa, etnis atau suku tersebut. Tak pelak Mandar sebagai sebuah etnis atau bahkan yang lebih besar dari itu, sebuah suku bangsa juga berlaku hal yang serupa. Artinya Mandar juga dapat dipahami dan dimengerti bahkan dikenal melalui bahasanya.
Konon masih sama dengan etnis lainnya di Indo­nesia, bahasa Mandar juga berasal dari rumpun bahasa Malayu Polinesia atau bahasa Nusantara atau yang lebih acap disebut sebagai bahasa ibunya orang Indo­nesia. Oleh Esser (1938) disebutkan, seperti yag dikutip Abdul Muttalib dkk (1992), bahwa mandfarsche dialecten yang awal penggunaannya berangkat dari daerah Binuang bagian utara Polewali hingga wilayah Mamuju Utara daerah Karossa.
Walau hingga kini tidak jelas benar sejak kapan penggunaan bahasa Mandar dalam keseharian orang Mandar. Namun dapat diduga, bahwa penggunaan bahasa Mandar sendiri bersamaan lahirnya orang atau manusia pertama yang ada di tanah Mandar. Hal yang lalu dapat dijadikan rujukan adalah adanya bahasa Mandar yang telah digunakan dalam lontar Mandar sekitar abad ke-15 M. Ibrahim Abas (1999).
Sehingga kuat dugaan bahwa bahasa yang digunakan sistem pemerintahan dan kemasyarakatan masa lalu di daerah Mandar telah menggunakan bahasa Mandar, yang untuk itu dapat dicermati dalam beberapa lontar yang terbit pada masa-masa pemerintahan kerajaan Mandar.
Sedang menilik area penyebaran bahasa Mandar sendiri, hingga kini masih dengan mudah bisa di temui penggunaannya di beberapa daerah di Mandar seperti, Polmas, Mamasa, Majene, Mamuju dan Mamuju Utara. Kendati demikian di beberapa tempat atau daerah di Mandar juga telah menggunakan bahasa lain, seperti untuk Polmas di daerah Polewali juga dapat ditemui penggunaan bahasa Bugis, sebagai bahasa Ibu dari etnis Bugis yang berdiam dan telah menjadi to Mandar (orang Mandar-pen) di wilayah Mandar. Begitu pula di Mamasa, menggunakan bahasa Mamasa, sebagai bahasa mereka yang memang di dalamnya banyak ditemui perbedaannya dengan bahasa Mandar. Sementara di daerah Wonomulyo, juga dapat difemui banyak masyarakat yang menggunakan bahasa Jawa, utamanya etnis Jawa yang tinggal dan juga telah menjadi to Mandar di daerah tersebut. Kecuali di beberapa tempat di Mandar, seperti Mamasa. Selain daerah Mandar-atau kini wilayah Provinsi Sulawesi Barat-tersebut, bahasa Mandar juga dapat ditemukan penggunaannya di komunitas masyarakat di daerah Ujung Lero Kabupaten Pinrang dan daerah Tuppa Biring Kabupaten Pangkep.
Selain itu, juga ada kecenderungan yang sama dengan bahasa lain di luar bahasa Mandar yang mengikuti para pendukung bahasa Mandar dimanapun ia berada. Sehingga bahasa Mandar jika dilihat dari persebarannya juga banyak kita temuui di beberapa daerah dimana orang dari suku bangsa Mandar berada. Katakanlah seperti, di Kalimantan, Nusa Tenggara, beberapa dearah Palu Sulawesi Tengah, Bali, Madura dan beberapa tempat lainnya dimana disitu berdiam komunitas dari suku bangsa Mandar.
Kendati demikian, tidak lantas menjadi hambatan dalam proses komunikasi masyarakat Mandar, sebab proses penyatuan dan peleburan dalam komunikasi telah terjadi pembauran bahasa yang relatif sudah cukup cair utamanya di daerah Mandar sendiri. Jika menilik dialek bahasa Mandar, maka dapat diklasifikasikan kedalam pembahagian beberapa dialek seperti, dialek Balanipa di Kabupaten Polmas yang berpusat di Tinambung dengan varian-varian seperti Lapeo, Pambusuang, Karama, Napo, Tandung, Todangtodang.
Sedang dialek lainnya adalah dialek Pamboang yang terdapat di Kecamatan Pamboang Kabupaten Majene yang variannya adalah, Luwaor, Bababulo, Adolang dan Tinambung Galunggalung. Sementara dialek Sendana juga di kabupaten Majene, digunakan di kecamatan Sendana dan daerah pesisir Kecamatan Malunda dengan variannya Mosso, Somba, Palipi, Pelattoang, Tammero'do. Dan daerah lainnya di Malunda juga dikenal dialek Ulu Manda' yang juga berbatasan dengan daerah pedalaman Pitu Ulunna Salu di daerah gunung. Selain itu j uga dikenal adanya dialek Awo' Sumakuyu yang dapat ditemui penggunaannya di Desa Onang dan perbatasan Malunda dengan varian, Desa Tubo yang diduga juga adalah termasuk dialek Ulumanda' atau dialek Mambi Mehalaan. Kendati terdapat beberapa dialek clan penggunaan bahasa lain di daerah Mandar, tetapi pada umumnya dapat memahami dialel: Balanipa. Hal ini disebabkan peran dialek Balanipa pada zaman kerajaanlah yang banyak mendominasi dalam berkomunikasi. Utamanya pada saat gelar pertemuan antar beberapa kerajaan, dimana kerajaan Balanipa diposisikan sebagai ayah dalam peta kerajaan-kerajaan di Mandar. Praktis membuat penggunaan dialeknya menjadi dominan pula. Abdul Muttalib, dkk (1992).
Selanjutnya jika dilihat dari tingkat kesamaan dialek, maka dalam bahasa Mandar dapat disebutkan, bahwa kesamaan dialek Balanipa dan Sendana sebanyak 184 buah kata, Balanipa dan Pamboang 190 buah, Balanipa dengan Majene 196 buah. Dan dialek Majene dan Sendana 182 buah, Majene dengan Pamboang 189, sedangkan Pamboang dan Sendana sebanyak 185 kesamaan. Artinya tingkat kesamaan rata-rata sekitar 90 % sedangkan perbedaannya berada dibawah 10 %.
Sedang menurut Ibrahim Abbas (1999),- bahwa setiap kelompok masyarakat di Mandar memiliki dialek tersendiri, namun yang paling menonjol perbedaan dialek, bahkan sampai pada bentuk pengucapan verbalnya dapat dilihat pada, dialek Mamasa, Campalagian, Balanipa, Pamboang, Malunda dan Kalumpang.
Masih menurutnya, dari segi penggunaan dan penggolongannya, maka bahasa Mandar membedakan tiga jenis bahasa yaitu, bahasa Hadat(bahasa golongan bangsawan) adalah bahasa yang dipakai dalam berkomunikasi antara sesama golongan bangsa wan, bahasa Samar (bahasa golongan menengah) adalah bahasa yang dipakai dikalangan umum masyarakat. Namun masih terasa adanya penghormatan -dari or­ang muda terhadap orang yang lebih tua. Dan yang terakhir bahasa Adae (bahasa buruk atau pasaran yang digunakan golongan bawah) adalah bahasa yang kurang bahkan tidak mengikuti aturan dan etika ketata bahasaan Mandar, yang penting mudah dipahami dan dapat digunakan dalam berkomunikasi.
Hal berikutnya yang juga dikenal dalam bahasa Mandar adalah, teknik berbicara dan makna pembicaraan, yang untuk itu dengan mudah dapat dicermati dalam keseharian yang berbentuk, bahasa resmi, bahasa akrab dan bahasa kiasan. Selain gaya bahasa seperti tersebut diatas orang Mandar mengenal pula adanya bahasa tomawuweng (bahasa orang tua-tua), bahasa topanrita (bahasa ulama), bahasa dukun atau yang dikenal dengan bahasa sando di Mandar.
Sampai disini, jelas tergambar, bahwa selain bahasa Mandar menjadi alat pemersatu dan komunikasi antar orang Mandar, juga dapat dengan mudah menjadi penanda yang digunakan dalam mengamati orang Mandar, utamanya dari dialeknya yang dapat menunjukkan dari komunitas lokal mana orang Mandar tersebut berada. Selain itu, lebih jauh bahasa Mandar juga dapat menjadi simbol penanda dari kelas sosial mana orang tersebut berada. Hingga sampai kepada penanda untuk mengamati profesi or­ang yang menggunakan, dilihat dari gaya pengucapannya.
Walau kini dalam realitas kesehariannya sudah agak susah untuk membedakannya. Namun yang pasti realitas kebahasaan tersebut, paling tidak, pernah dikenal di Mandar. Sekaligus menunjukkan betapa kayanya bahasa Mandar, utamanya menilik makna dan hakikat intrinsik yang lebih dalam dari sekedar yang tampak atau terdengar verbal dalam bahasa Mandar.
F. Bentuk Rumah dan Maknanya
Jamak dipahami bahwa salah satu fungsi rumah adalah tempat berteduh dan berlindung. Tetapi tentu tidak sampai disitu, sebab rumah selain fungsi tersebut, rumah juga dapat memberi ciri kepada penghuninya. Sekaligus dapat membedakan tingkat dan strata sosial pemiliknya dalam masyarakat. Di Mandar hal yang serupa juga demikian adanya, Dimana disamping ia memperhatikan estetika (keindahan-pen), fungsi dan kegunaan serta posisi­-posisi, pembagian ruangan atau yang lebih dikenal semacam feng shui, di dalam rumah dan lain sebagainya. Yang kesemuanya itu adalah merupakan suatu kebiasaan yang telah turun temurung dilakukan oleh masyarakat. Namun hal yang paling mencolok dapat di amati dari rumah Mandar selain berbentuk rumah panggung, seperti kebanyakan khas rumah­rumah etnis Sulawesi, ia juga memperhatikan beberapa syarat dalam proses pendiriannya.
Dalam membuat rumah ini mereka memperhatikan syarat-syarat seperti yang ditulis Ibrahim Abbas (1999), yang menyebutkan bahwa syarat-syarat tersebut adalah seperti, syarat ekonomi yaitu, memakai biaya yang serendah-rendahnya dan memanfaatkan alam sekitar. Sehingga rata-rata rumah yang ada di Mandar terbuat dari kayu yang tentu jenisnya bergantung kepada kemampuan pemilik rumah. Syarat yang kedua adalah, syarat teknis, yaitu menggunakan ukuran dan perbandingan yang sesuai. Misalnya ruang rumah lebih tinggi daripada kolong rumah, ruas tengah rumah lebih panjang dari pada ruas muka dan ruas muka lebih panjang daripada ruas belakang, tinggi tiang bubungan ada yang pakai ukuran puang atau bangsawan atau sukaq tang-nya (tinggi tiang bubungan seperdua daripada panjang balok kuda-kuda), yaitu ukuran bagi orang todiang laiyana (bangsawan), untuk orang tau pia biasa (orang terhormat biasa) ukuran tersebut dikurangi sedikit, dan bagi tau samar atau orang kebanyakan, menggunakan suka' ukuran tallu. Tinggi tiang bubungan itu sepertiga dari panjang bae' atau kuda­kuda. Tiang-tiang dilubang dan dihubung-hubungkan dengan balok secara melintang dan membujur dan di perkuat pula dengan passasil (pasak) dan panjoli (paku dari kayu) Syarat berikutnya adalah syarat kesehatan yaitu, menggunakan jendela yang berbentuk persegi empat agar cahaya dapat masuk kedalam rumah dan petukaran udara lancar. Ukuran luas rumah bervariasi antara 5 x 7 cm dan 7 x 9 m.
Diamati dari bentuk ruang dan fungsinya rumah Mandar dapat dibagi atas beberapa ruang dan fungsi sebagai berikut; naung boyang (kolom rumah), ruang yang berada dibawah ini lazimnya digunakan sebagai arena untuk menenun lipa sa’be Mandar (sarung sutra Mandar-pen), menyimpang kayu bakar, alat-alat kerja dan lain-lain ruang berikutnya adalah ruangan diatas rumah yang untuk mencapainnya menggunakan ende atau tangga yang terbuat dengan kayu, ruang boyang atau ruangan rumah bagian atas terdiri dari tallullottang (tiga petak) yang dibagi-bagi menurut kebutuhan. Petak pertama samboyang sebagai ruang tamu, petak kedua tangnga boyang sebagai ruang keluarga, peta tiga adalah ruang belakang yang kerap dijadikan, sebagai songsi atau kamar tidur baik untuk orang tua maupun anak-anak serta keluarga lainnya. Sedang dapur biasanya menjadi bahagian tersendiri dari ruang dan mutlak selalu berada di belakang.
Sedang ruang berikutnya adalah, tapang (loteng), ruangan ini terletak diatas ruang tengah yang berfungsi sebagai tempat tidur anak gadis dan tempat menyimpan barang-barang berharga yang tidak digunakan sehari-hari pada waktu ada selamatan, kenduri atau acara perkawinan, dijadikan tempat mengatur lauk-pauk yang akan dihidangkan kepada para tamu untuk mencapainya mesti melalui ende atau tangga ke atas (ibid).
G. Mandar Dalam Peta
Jika Mandar ditilik ke dalam peta, maka ia terletak pada posisi antara 118 ° dan 119° BT serta antara 10 dan 30 LS. Artinya, Mandar terletak dari arah selatan ke utara di pesisir barat Pulau Sulawesi, yaitu antara Binanga Karaeng di bagian Selatan dan Suremana di sebelah Utara, dengan batas-batas sebagai berikut di sebelah berbatasan dengan Kabupaten Pinrang dan Kabupaten Tator, di timur berbatasan dengan Kabupaten Tator dan Kabopaten Luwu, di Utara berbatasan dengan Propensi Sulawesi Tengah, dan di barat berbatasan dengan Selat Makassar.
Sementara Drs. Muis Mandra (2004) menulis jika bertumpu pada deklarasi Assitaliang Luyo yang ditandai dengan Allanarcngan Batu maka dapat dijelaskan, bahwa wilayah Mandar dimulai dari arah utara Mandar yang berbatasan dengan Lalombi yang kini masuk ke wilayah Sulawesi Tengah. Sedangkan Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Poso, Kabupaten Luwu dan Kabupaten Tanah Toraja, utamanya di daerah dan wilayah pegunungan. Dan sebelah selatan Mandar berbatasan dengan Binanga Karaeng yang terletak disekitar wilayah Kabupaten Pinrang. Sedang sebelah barat berbatasan dengan Selat Makassar.
Selanjutnya sebagai sebuah daerah, yang di dalamnya terdiri dari banyak komunitas etnis, seperti, Bugis, Makassar, Bali, Jawa, China dan lain sebagainya. Ditambah beragamnya profesi dan kegiatan keseharian masyarakatnya, kontan membuat tingginya dinamika kehidupan penduduk, baik yang masuk maupun keluar dan berdiam di daerah Mandar tersebut. Menurut UU NO. 23 Tahun 1959, daerah Mandar di bagi menjadi tiga kabupaten, yaitu Polewali Mamasa, Majene dan Mamuju yang jika di petakan adalah sebagai berikut ; Pertama, Kabupaten Polewali Mamasa (Polmas) secara geografis terletak antara 12° 5'- 12° 50 BT dan 2° 40 - 33° 32' LS dengan luas wilayah 4781,53 km'. panjang pantai yang menelusuri wilayah kabupaten Polmas mulai dari Paku sampai Tandung diperkirakan sekitar 70 km. Yang kedua, Kabupaten majene terletak di sebelah utara bagian barat Jazirah Sulawesi Selatan atau pesisir utara Teluk Mandar, dengan letak geografis antara 2° 38'45" - 3" 04'15" LS dan antara 118° 45 00 - 119° - 0445" BT dengan luas wilayah 947,85 km-' dan panjang pantai sekitar 85 km. Dan yang ketiga, Kabupaten Mamuju.
Secara geografis terletak di bagian utara dari propensi Sulawesi Selatan tepatnya pada posisi geografis O° 52' 00" - 2° 54 52 LS dan 118° 43 15" - 119° 56'o3" BT. Luas Kabupaten Mamuju ialah 1.105.781 ha dan panjang pantai sekitar 435 km.
Lalu pada perjalanannya kemudian, setelah terjadi kebijakan pemerintah yang berupa otonomi daerah, yang salah satu biasnya adalah mendorong beberapa pemekaran wilayah. Terlebih wilayah Mandar lalu kemudian berubah pula dan menjadi Provinsi Sulbar dengan luas wilayah sebagai berikut ; Polmas, terletak di sebelah utara Kota Makassar. Memiliki luas wilayah 2.022,30 km2 berbatasan dengan sebelah utara Kabupaten Mamasa, sebelah selatan Selat Makassar, sebelah Timur Kabupaten Pinrang, dan sebelah barat Kabupaten Majene. Secara administrative, pemerintahan di akbupaten polmas terdiri atas 15 kecamatan, 26 kelurahan dan 108 Desa.
Sedangkan Kabupaten Majene yang beribukota di Majene berada sekitar + 302 km dari kota Makassar, terletak di pesisir pantai barat Sulawesi selatan dengan batasan wilayah; sebelah utara dengan kabupaten Mamuj u, sebelah timur dengan Kabupaten Polmas, sebelah selatan dengan Teluk Mandar dan sebelah barat dengan Teluk Makassar. Memiliki luas wilayah sebesar 947,84 km. Secara administratf pemerintahan di kabupaten Majene terdiri atas 4 (empat) Kecamatan, 14 Kelurahan dan 21 Desa. Berikutnya Mamuju dengan ibukota Mamuju terletak ± 44s km dari kota Makassar, berbatasan dengan Kabupaten Majene, Kabupaten Polmas, Kabupaten Tanah Toraja, Kabupaten Luwu dan Luwu Utara, Kabupaten Mamuju Utara dan sebelah barat dengan Selat Makassar dan Kalimantan Timur. Luas Wiayah mencapai 11. 033,18 ha, dan secara administratif terdiri atas 15 Kecamatan, 119 Desa dan 8 Kelurahan.
            Untuk Kabupaten Mamasa dengan ibu kota Mamasa, memiliki luas wilayah 2.759,23 km' atau 275.932 Ha, dengan batas-batas; Sebelah utara Kabupaten Mamuju, sebelah Timur Kabupaten Tanah Toraja dan Pinrang, sebelah selatan Kabupaten Polmas, sebelah barat Kabupaten Polmas dan Majene. Secara administratif, pemerintahan Kabupaten Mamasa terdiri dari 10 Kecamatan, 120 Desa dan 12 Kelurahan. Terakhir wilayah Mamuju Utara merupakan segi tiga emas yang menghubungkan antara Provinsi Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tengah. Memiliki luas wilayah 3.043,75 km, dengan batas-batas; Sebelah utara Sulawesi Tengah, sebelah Timur Sulawesi Tengah, sebelah selatan Kabupaten Mamuju, sebelah barat Selat Makassar. Sacara administratif, pemerintahan Kabupaten Mamuju Utara terdiri atas 4 Kecamatan dan 33 Desa.